Jakarta, CNN Indonesia -- Bursa saham China bergerak liar pada perdagangan hari ini, Kamis (9/7) setelah regulator mengumumkan 10 paket kebijakan untuk meredam kejatuhan pasar.
CNN Money melaporkan indeks Shanghai yang turun 3 persen saat pembukaan pasar, berbalik menguat 5 persen pada siang hari. Demikian pula dengan indeks Shenzhen dan Hang Seng, keduanya bergerak di teritori positif dengan keuntungan sekitar 4 persen. Ini merupakan sinyal positif pertama dalam pekan ini.
Sebagai informasi, indeks Shanghai telah anjlok 32 persen sejak 12 Juni 2015. Sementara bursa Shenzhen terkoreksi lebih dari 40 persen selama periode yang sama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih dari separuh perusahaan yang melantai di Bursa China memilih untuk menarik saham mereka dari pasar yang menurut media pemerintah "menggila seperti roller-coaster". Jumlah emiten yang menarik sahamnya terus bertambah, di mana pada hari ini lebih dari seratus perusahaan mengumumkan penghentian perdagangan.
Pemerintah China saat berupaya sebisa mungkin untuk menyelamatkan pasar modalnya. Bank Rakyat China telah memangkas suku bunga ke rekor terendah, broker telah berkomitmen untuk membeli miliaran nilai saham, dan regulator menghentikan sementara penawaran saham perdana (IPO).
Pada Rabu (9/7), China Securities Finance Corporation (CSFC) menyatakan akan mengucurkan pinjaman US$ 42 miliar atau 260 miliar yuan kepada 21 perusahaan pialang untuk membeli saham-saham blue chip. Anggaran tersebut di luar komitmen sekuritas setempat yang berjanji menggelontorkan dana US$ 20 miliar untuk membeli selama saham hingga akhir pekan.
Selain itu, pemegang saham pengendali dan anggota dewan dilarang mengurangi kepemilikan saham melalui pasar sekunder selama enam bulan. Otoritas bursa China berjanji akan menindak serius jika ada yang melanggar aturan itu.
Namun, investor tampaknya tak yakin dengan upaya pemerintah tersebut. Sebab, bursa saham China bergerak liar, di mana kadang-kadang dibuka melonjak 7 persen sebelum ditutup melemah.
Kejatuhan bursa saham China mengindikasikan terjadinya ledakan gelembung (bubble) aset di Negeri Tirai Bambu. Indikasinya adalah pertumbuhan ekonomi China terus melambat ke level terendah sejak 2009. Di sisi lain, harga saham terus tumbuh dan banyak perusahaan meraup keuntungan, yang sebenarnya nilai riilnya lebih rendah dari tahun lalu.