Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Perindustrian Saleh Husin menyambut baik kebijakan penaikkan bea masuk barang impor untuk beberapa produk makanan jadi karena dianggap bisa memproteksi neraca perdagangan makanan minuman yang selalu mengalami defisit.
"Memang kebijakan itu yang selama ini kita inginkan, agar memperkuat produksi dalam negeri. Kalau sudah begitu, maka industri kita bisa memiliki daya saing yang tinggi juga," jelas Saleh di Jakarta, Kamis (23/7).
Lebih lanjut, Saleh mengatakan jika kebijakan ini nantinya bisa membantu defisit neraca makanan dan minuman antara Indonesia dengan negara lainnya. Selain itu, ia pun juga setuju atas besaran tarif yang akhirnya disetujui oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, karena menurutnya negara-negara tujuan ekspor makanan mknuman Indonesia juga dikenakan tarif yang besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau begini kan adil, karena di negara-negara lain juga sama. Barang-barang makanannya diproteksi oleh mereka," tambahnya.
Senada, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi Lukman mengatakan bahwa kebijakan bea impor diperlukan sebagai upaya harmonisasi tarif, dimana sebelumnya pemerintah mengenakan bea masuk bagi bahan baku industri makanan dan minuman.
"Dengan kondisi sebelumnya, di mana hanya bahan baku yang dikenakan bea masuk, maka bisa dibilang langkah maju karena mengedepankan harmonisasi tarif. Tapi saya tak tahu apakah bea masuk itu berlaku juga bagi negara-negara yang memiliki perjanjian bilateral atau tidak, tapi semoga saja bisa mendorong industri dalam negeri," tegas Adhi di lokasi yang sama.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa jika kebijakan ini tidak diberlakukan bagi negara-negara yang menjadi mitra bilateral perdagangan Indonesia, maka kemungkinan besar Indonesia masih akan tetap diserang oleh produk impor asal Tiongkok, Korea Selatan, dan juga Asia Tenggara.
Namun, Adhi menambahkan bahwa penerapan bea masuk tersebut akan berdampak besar bagi produk asal Eropa dan Amerika Serikat mengingat Indonesia belum menandatangani perjanjian perdagangan dengan negara-negara tersebut. Negara-negara asal benua tersebut, tambahnya, selama ini telah banyak mengekspor permen dan makanan kecil ke Indonesia.
"Semoga kebijakan yang baru ini tidak ada permasalahan dengan kebijakan World Trade Organization (WTO) dan bisa membantu perbaikan defisit neraca industri makanan minuman yang tahun lalu mencapai US$ 900 juta," jelas Adhi.
Sebagai informasi, nilai ekspor produk makanan dan minuman tahun 2013 tercatat sebesar US$ 5,38 miliar dengan impor mencapai US$ 5,80 miliar. Sedangkan pada tahun 2014, ekspor makanan minuman menguat menjadi US$ 5,51 miliar dan nilai impor produk makanan minuman menurun menjadi US$ 5,76 miliar.
Hingga Mei tahun ini, Adhi mengatakan bahwa defisit neraca makanan dan minuman mencapai US$ 240 juta. Dengan adanya kebijakan ini, ia yakin defisit bisa berada di bawah angka tahun lalu.
Lebih lanjut, Kementerian Keuangan sendiri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 132/0.10/2015 dimana pemerintah telah menetapkan lebih dari 60 pos jenis barang konsumsi yang dikenakan tarif bea masuk.
Beberapa item barang makanan dan minuman yang kena bea masuk tersebut adalah kopi (20 persen), teh (20 persen), permen karet (20 persen), cokelat (15 persen), kue kering (15 persen), es krim (15 persen), air soda (10 persen), dan lainnya dengan besaran bea 10 hingga 150 persen dari harga barang.