Bos BCA Tak Cemaskan Naiknya Suku Bunga The Fed

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Kamis, 30 Jul 2015 08:13 WIB
Jahja Setiaatmadja lebih mengkhawatirkan potensi ketatnya likuiditas perbankan menyusul adanya pembiayaan proyek infrastruktur pemerintah.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja (kanan). (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengaku tidak merasa cemas dengan adanya rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/Fed). Janet Yellen selaku Gubernur The Fed telah mengisyaratkan akan ada kenaikan Fed rate pada akhir tahun ini.

"Kalau saya pribadi berasumsi bahwa kalau US interest rate mulai naik paling tidak kita sedikit banyak mengikuti tren. Itu cukuplah," tutur Jahja dalam acara paparan kinerja semester I 2015 di Jakarta, Rabu (29/7).

Jahja mengambil contoh, ketika The Fed rate naik perseroan akan melakukan penyesuaian sebesar 0,25 basis poin pada tingkat bunganya. Dengan tidak melawan arus, Jahja meyakini bahwa pasar akan tetap tenang dan tidak menimbulkan kepanikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Hal itu dilakukan hanya untuk menunjukkan ke pasar bahwa we follow the trend, tidak melawan arus,” tutur Jahja.

Menurut Jahja, pada dasarnya pasar sudah mengantisipasi kenaikan The Fed rate dari level saat ini di rentang 0 - 0,25 persen.

“Yang membuat market shock itu kalau tidak ada pengumuman interest US akan naik,” ujarnya.

Likuiditas Ketat

Di sisi lain, Jahja lebih mengkhawatirkan potensi ketatnya likuiditas perbankan menyusul adanya pembiayaan proyek infrastruktur pemerintah. Seperti diketahui pemerintah membutuhkan sekitar Rp 4.970 triliun untuk membangun berbagai mega proyek infrastruktur selama lima tahun ke depan.

“Kalau dilaksanakan Rp 1.000 triliun saja itu sudah cukup besar karena kemampuan bank domestik dan lokal untuk pendanaan saya pikir paling banyak Rp 100 triliun sampai Rp 200 triliun (per tahun) kemampuannya. Selebihnya mau tidak mau harus ambil dari luar," ujarnya.

Menurutnya apabila pembiayaan infrastruktur dipaksakan melebihi kemampuan pendanaan perbankan lokal maka likuiditas rupiah akan kembali ketat. Pasalnya, selain sektor infrastruktur, perbankan juga perlu memperhatikan pembiayaan sektor industri lain maupun kebutuhan nasabah lain.

“Selain itu, perbankan di Indonesia belum terbiasa memberikan pendanaan jangka panjang. (Sumber pendanaan perbankan) kita semua dari tabungan, giro, deposito itu paling lama setahun. Infrastruktur kan bisa 15-20 tahun jadi memang perbankan nggak terlalu berani masuk dalam jumlah terlalu besar,” ujarnya. (gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER