'Jatah' Daerah dalam Pengembangan Geotermal Bakal Naik

CNN Indonesia
Jumat, 31 Jul 2015 15:20 WIB
“Sekarang masih dibahas Kementerian Keuangan. Kemarin sudah kami sampaikan dan Kemenkeu yang bakal tetapkan porsi pembagiannya.”
Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Wayang Windu milik Star Energy terletak 40 kilometer ke sebelah Selatan kota Bandung. (Dok. Star Energy)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menyatakan tengah menggodok wacana pengalokasian komponen bagi hasil dari kegiatan pertambangan panas bumi (geotermal), atau yang umum dikenal dengan istilah ‘Bonus Produksi’.

Seperti halnya First Tranche Petroleum (FTP) pada metode bagi hasil dari pertambangan minyak dan gas bumi (migas), alokasi Bonus Produksi nantinya akan diambil dari gross revenue atas setiap penjualan listrik yang dihasilkan pembangkit berbasiskan energi panas bumi, sebelum pendapatan tadi dikurangi biaya produksi atau cost production.

“Sekarang masih dibahas Kementerian Keuangan. Kemarin sudah kami sampaikan dan Kemenkeu yang bakal tetapkan porsi pembagiannya,” ujar Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yunus Saefulhak saat dihubungi CNN Indonesia, Jumat (31/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yunus mengungkapkan, rencana pemberian Bonus Produksi tak lepas dari usulan beberapa pemda yang menilai bahwa pemanfaatan energi panas bumi di wilayahnya urung memberikan dampak yang signifikan pada perekonomian daerah. Selain itu, katanya, pengalokasikan Bonus Produksi juga dimaksudkan agar di dalam pengembangan geotermal di Indonesia tak menggunakan mekanisme hak partisipasi atau participating interest (PI) seperti yang berlaku di pertambangan migas.

Alasannya, Yunus menilai jika pengembangan energi panas bumi menggunankan mekanisme tersebut, maka perusahaan daerah yang memiliki PI akan dibebankan oleh biaya investasi rutin alias cashcall yang pada akhirnya akan melibatkan pihak asing dalam hal pembiayaannya. Berangkat dari hal tersebut, pemerintah berinisiatif akan mengakomodir permintaan Pemda mengenai pengalokasian Bonus Produksi.

“Nantinya Bonus Produksi akan diambil dari ‘jatah’ pemerintah (government take) yang selama ini masuk ke PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Kalau dibebankan ke kontraktor pastinya mereka akan keberatan karena nyatanya komponen ini tidak ada di dalam kontrak,” tutur Yunus.

Asal tahu, selama ini pendapatan dari setiap penjualan energi panas bumi menjadi listrik atau net operation income (NOI) dibagi dengan komposisi 34 persen untuk negara (government take) dan 66 persen lainnya untuk kontraktor (contractor take), setelah dikurangi biaya produksi.

Dari prosentase government take sebesar 34 persen, selanjutnya akan dibagi dengan komposisi 20 persen untuk pemerintah pusat dan 80 persen untuk Pemerintah Daerah. Sementara untuk 'jatah' Pemda dengan besaran 80 persen tadi, nantinya kembali dipecah dengan pembagian porsi 16 persen untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov), 32 persen untuk Pemerintah Kabupaten (Pemkab) tempat WKP dikembangkan, dan 32 persen lainnya untuk beberapa Pemda yang tercatat berada di provinsi tersebut.

Meski dinilai akan mengubah jumlah penerimaan bagi Pemerintah Pusat, Pemprov dan kontraktor, Yunus menegaskan bahwa pengalokasian Bonus Produksi telah diterima oleh semua pihak.

"Ini karena pengolakasian Bonus Produksi (bagi hasil) pada dasarnya tidak besar, atau hanya berkisar Rp 35 miliar per tahun dari WKP yang existing. Toh pada akhirnya juga keluar dari kantong kiri, masuk di kantong kanan, kan” cetusnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER