Abaikan Nilai Tukar, BI Disarankan Konsisten Jaga Inflasi

Agust Supriadi | CNN Indonesia
Kamis, 13 Agu 2015 13:04 WIB
"Dengan mengguyur valas, apakah rupiahnya menguat? Kan tidak. Sama saja menggarami air laut," ujar pengamat ekonomi Yanuar Rizky.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (tengah) berbincang dengan Deputi Gubernur BI lainnya. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 mematok nilai tukar rupiah pada angka Rp 12.500 per dolar Amerika Serikat (AS). Namun realisasinya sudah menyimpang jauh dari target, di mana pada perdagangan kemarin, Rabu (12/8) angkanya menembus Rp 13.800 dan ditutup pada level Rp 13.758 per dolar berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI).

Ketidakpastian ekonomi global dituding bank sentral maupun pemerintah sebagai biang keladinya. Hal itu diamini oleh Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky, yang menyebutnya sebagai fakta ekonomi Indonesia terkini.

Menurut Yanuar, sedikit atau banyak ada intervensi BI dalam pergerakan rupiah saat ini. Namun, operasi pasar yang dilakukan bank sentral dengan menggelontorkan valas dalam jumlah besar dinilainya sia-sia karena tak cukup efektif meredam kejatuhan rupiah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Itu kan sama saja menggarami air laut. Dengan mengguyur valas, apakah rupiahnya menguat? kan tidak," tuturnya kepada CNN Indonesia, Kamis (13/8).

Ketimbang menghambur-hamburkan valas dengan hasil yang tak jelas, kata Yanuar, lebih baik cadangan devisa yang ada disuntikan ke sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) yang mendapat amanat pemerintah untuk menjamin ketersediaan energi dan pangan.

Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan pangan, PT Pertamina (Persero) dan Perum Bulog harus menggunakan dolar untuk mengimpornya dari luar negeri.

Cara ini dinilai Yanuar lebih efektif dalam menjaga stabilisasi inflasi sehingga naiknya harga-harga barang kebutuhan pokok bisa diredam di tengah biaya impor yang semakin tinggi.

Lagipula berdasarkan Undang-Undang (UU) tentang Bank Indonesia, tugas utama BI adalah mengendalikan inflasi, yang dikaitkan dengan uang beredar dan nilai tukar.

"Jadi tugas utamanya adalah mengendalikan inflasi, sedangkan nilai tukar hanya alat untuk mencapai itu," tuturnya.

Menurut Yanuar, dengan dikaitkannya pengendalian inflasi dengan stabilisasi nilai tukar, sebenarnya secara legal Indonesia sudah diarahkan menjadi negara nett importir.

Berdasarkan teori keseimbangan John Forbes Nash atau Game Theory, lanjut Yanuar, ketika para pemain dominan bermain aktif di pasar maka titik keseimbangan baru akan tercipta setelah mereka saling membagi rata. Titik keseimbangan baru bisa tercipta jika ada pemain dominan baru yang masuk dalam persaingan pasar.

"Yang menjadi korban adalah yang tidak ikut main seperti kita. Konsekuensinya rupiah akan terus melemah," tuturnya.

Merujuk pada Game Theory tersebut, saat ini hanya ada empat pemain dominan di dunia yang mengontrol pasar keuangan global, yakni Bank Sentral AS (The Fed), Bank Sentral Eropa (ECB), Bank Sentral Jepang (BoJ), dan Bank Sentral China (PBOC). Persaingan mereka di pasar uang global masih akan berlanjut dan diyakini dampaknya terhadap pelemahan rupiah masih akan berlanjut.

"Jadi biarkan saja nilai tukar melemah, karnea kita bukan pemain dominan yang bisa mempengaruhi titik keseimbangan global. BI sebaiknya fokus pada pengendalian inflasi di dalam negeri," jelasnya.

Political Will

Yanuar menilai, bukan perkara ‘bisa atau tidak’ BI menyuntik valas ke BUMN. Namun, lebih pada ‘mau atau tidak’ BI, pemerintah dan DPR bermufakat melawan musuh ekonomi bersama yang disebutnya sebagai intervensi global.

"Contoh Quantitative Easing di Amerika Serikat dan devaluasi yuan di China, itu kan hasil kompromi pemerintah dan parlemen dalam melawan musuh bersama, yakni musuh eksternal. Kalau urusan internal saling berkompetisi itu urusan lain," katanya.

Begitu pula dengan Indonesia, kata Yanuar, seharusnya pemerintah dan DPR punya visi yang sama dalam menghalau pengaruh asing. Sementara untuk urusan alokasi APBN yang sifatnya internal, dimaklumi jika berbeda pandangan.

Yanuar Rizky mengatakan ekonomi Indonesia rentan terpengaruh gejolak eksternal karena secara fundamental memang tidak sekokoh negara-negara maju. Ketergantungan terhadap barang impor yang terlalu tinggi dinilai sebagai penyebab utamanya. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER