Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pengatur Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menilai investor terkesan enggan mengembangkan kilang minyak penyimpanan dan pengolahan di Indonesia. Aturan gudang berikat yang diterapkan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dituding sebagai penyebabnya.
Hendry Ahmad, Direktur Bahan Bakar Minyak BPH Migas menuturkan, sekelumit problematika masih membayangi pengembangan sektor hilir minyak dan gas bumi (migas) Indonesia, khususnya menyoal pengadaan kilang minyak penyimpanan dan pengolahan.
Selain minimnya insentif dalam rangka menjamin pengembalian nilai investasi atau internal rate of return (IRR), tak padunya koordinasi antar Kementerian dinilai Hendry turut menyulitkan upaya pengadaan kilang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Hendry, salah satu penghambatnya dalah aturan gudang berikat yang diberlakukan oleh DJBC, dalam hal pengiriman produk minyak ataupun gas bumi yang disamakan dengan komoditas lain.
Padahal, lanjut Hendry, minyak merupakan salah satu komoditas utama jika dilihat dari tingginya angka kebutuhan di dalam negeri yang mencapai 1,4 sampai 1,6 juta barel per hari (Bph).
"Tujuan aturan gudang berikat awalnya memang baik untuk memprotek agar komoditas-komoditas utama selain migas tidak mudah masuk (impor) kesini. Tapi setelah migas disamakan kayak di kawasan Merak sana, akibatnya biaya penyimpanan minyak murah dan orang malas simpan. Jadinya investor lebih memilih Singapura dan Malaysia untuk berinvestasi kilang," tutur Hendry Ahmad, di Jakarta, Kamis (20/8).
Hendri menuturkan, pasca diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No.143/PMK.04/2001 tentang Penerapan Aturan Gudang Berikat, para pengusaha kilang sudah tidak bisa dengan mudah mengubah tujuan pengiriman minyak.
Padahal, katanya, perubahan untuk mengganti tujuan pengiriman bisa saja dilakukan dengan melihat perbandingan harga yang dinilai lebih menguntungkan para pengusaha.
Hendry menyayangkan, akibat aturan gudang berikat tersebut para pengusaha kilang harus lebih dulu mengirimkan minyaknya ke luar negeri meskipun tujuan akhir pengiriman akan diperuntukan ke Indonesia.
"Kalau di luar negeri tidak begitu. Kalau di sana andaikan di dalam negeri (pasokan) minyak kurang, bisa urus persyaratan by email dan langsung keluar. Saya sendiri sudah sampaikan ini ke Kementerian Keuangan," ucap Hendry.
Pada kesempatan berbeda, Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira menegaskan pemerintah harus memberikan jaminan kepada calon investor menyoal kepastian pembeli dari minyak (offtaker) yang disimpan di fasilitas kilang.
Selain itu, pemerintah juga harus bisa memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk mendapatkan hak keistimewaan dalam menguasai satu kawasan demi menunjang bisnis penjualan minyak dari kilangnya. Hal ini dimaksudkan agar bisnis kilang yang membutuhkan padat modal bisa mendatangkan keuntungan dengan waktu yang tidak lama.
"Jadi jangan ada itu konsep BUMN Khusus Hilir yang wacananya sempat digulirkan pemerintah di mana nantinya minyak harus dijual ke mereka. Kalau gitu, sama saja bohong. Akan percuma juga kalau akhirnya pemerintah memberikan tax holiday dan allowance untuk proyek kilang yang saat ini sedang dibahas," kata Anggawira.
(ags)