Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Institute of Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai proyek listrik 35 ribu Megawatt (MW) yang digagas Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) akan lebih baik dibandingkan proyek listrik 10 ribu MW pada zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal ini disebabkan pemerintahan sekarang belajar dari beberapa kekurangan yang membuat mandeknya proyek listrik milik SBY yang lalu.
"Saya melihat 35 ribu MW cukup menarik
approach-nya. Pengalaman dari proyek 10 ribu MW dipelajari betul," kata Fabby di Jakarta, Minggu (30/8).
Hal pertama yang membuat Fabby menilai proyek listrik 35 ribu MW kebih baik adalah adanya Peraturan Menteri yang mengatur soal harga untuk
Independent Power Producer (IPP). Meskipun masih ada ketidakpuasan soal formula harga yang tercantum dalam aturan tersebut, tapi setidaknya ada kepastian untuk itu. Sebab pada proyek sebelumnya, harga ini tidak ditetapkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya soal kepastian harga, Fabby juga mengatakan kebijakan pemberian kewenangan kepada PT PLN (Persero) untuk bernegosiasi juga bisa melancarkan jalannya pembangunan mega proyek tersebut.
"Pemberian kewenangan kepada PLN untuk bernegosiasi dan menyetujui harga berdasarkan peraturan itu, tanpa harus menunggu persetujuan menteri. Itu bisa mempercepat waktu dan prosesnya untuk menyaring IPP-nya dan segala macam," ujar Fabby.
Adapun kehadiran tim percepatan pembangunan juga dinilai membuat proyek ini lebih efektif. Fabby mengatakan, kehadiran tim yang mengurusi persoalan mendasar di lapangan sangat penting.
Misalnya saja untuk mengurus lahan. Pada permasalahan tersebut, tim percepatan pembangunan sangat dibutuhkan perannya. Sebab, masalah lahan tidak serta merta diselesaikan dengan perbincangan antar menteri saja.
"Persoalan lahan tidak bisa diselesaikan dengan hanya menteri sama menteri
ngomong saja. Yang kerja di
grassroot juga perlu ada. Harus ada yang melakukan kerja kotornya. Tinggal menterinya yang buat keputusan," kata Fabby.
Adanya tim percepatan pembangunan tersebut juga bisa membantu untuk memecahkan kondisi dan memetakan persoalan. Mereka akan memetakan persoalan yang membutuhkan koordinasi tinggi dan mana yang bisa diselesaikan dnegan cepat.
"Jadi peta persoalan lebih jelas. Baru nanti ada koordinasi bilateral antar menteri. Ini yang membuat prosesnya jadi lebih baik," ucapnya.
Kelemahan 10 ribu MWBeberapa poin tersebut, kata Fabby, tidak dilakukan saat menjalankan proyek listrik 10 ribu MW dulu. Hal itulah yang membuat proyek lalu akhirnya mandek dan tersisa sampai sekarang.
Fabby mengatakan, pada 2006 lalu saat proyek listrik 10 ribu MW dicanangkan dan ditargetkan akan selesai pada 2009, Fabby tak yakin. Baginya itu adalah hal yang mustahil.
"Saya salah satu yang paling awal mengkritik. Saya katakan proyek itu dalam waktu tiga tahun
mission impossible. Dan kita lihat sampai sekarang masih ada yang belum selesai," kata Fabby.
Kendati dinilai lebih efektif, namun Fabby khawatir dengan kemampuan PLN untuk menerima tanggung jawab itu. Ia juga mempertanyakan apakah PLN mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada setelah diberi kewenangan negosiasi.
"Kapasitas PLN untuk mengeksekusi proyeknya saya kira masih perlu sedikit didorong," ujarnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan Peraturan Menteri yang dibuat untuk mega proyek listrik ini memang disusun setelah terlebih dahulu mempelajari kelemahan proyek pembangunan lalu.
"Kami analisis apa yang menjadi hambatan di periode lama, seperti lamanya negosiasi," ujar Sudirman.
"Peraturan itu juga memungkinkan kalau kategori ekspansi tidak perlu ditenderkan. Kemudian, harganya diberi harga
ceiling (plafon). PLN boleh menggunakan itu sebagai pedoman," katanya.
Ketika PLN sudah menggunakan harga plafon tersebut setelah melakukan negosiasi, PLN tidak perlu datang ke Kementerian ESDM untuk meminta persetujuan.
Perbedaan mega proyek pembangunan listrik ini juga terletak pada penunjukkan pengembang. Dulu, kata Sudirman, mutu dari konstruksi dan realibilitas pembangunan tergolong rendah. Tapi sekarang, pemerintah menggunakan
Independent Procurement Agent untuk melakukan penilaian.
"Walaupun ada penunjukkan langsung, harus dilihat dulu kemampuan keuangan, teknisnya, segala macam. Di cek betul
developer-nya punya kemampuan atau tidak. Jangan nanti harga rendah tapi tidak dikerjakan," kata Sudirman.
(gen)