Jakarta, CNN Indonesia -- Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) berharap paket kebijakan ekonomi yang bakal diterbitkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mampu menggerakkan permintaan kredit. Selain memasukkannya ke dalam paket kebijakan, pemerintah juga diminta memberikan insentif moneter bagi bank nasional melalui Bank Indonesia (BI) di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Ketua Perbanas Sigit Pramono menjelaskan banyaknya prediksi pertumbuhan ekonomi 2015 yang melambat, pada akhirnya membuat perbankan Indonesia juga menghitung ulang target pertumbuhan kreditnya tahun ini.
“Kredit bank itu kan tergantung permintaan para pelaku usaha. Maka jelas jika pertumbuhan ekonomi lesu, permintaan kredit bank juga turun. Karenanya bank harus realistis dan menurunkan target kredit,” ujarnya di Jakarta, Kamis (3/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk itu mengaku memiliki perhitungan kasar dalam memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan dari capaian ekonomi.
“Saya pakai
rule of thumb. Misalnya pertumbuhan ekonomi 5 persen, maka pertumbuhan kredit bisa 3-4 kali, di level 15 persen-20 persen. Maka kalau pertumbuhan ekonomi turun 4,8-4,9 persen, ya pertumbuhan turun sekitar 14-19 persen. Biasanya sampai akhir tahun bisa meningkat, tapi kita tidak bisa terlalu optimistis, mungkin 14 persen bisa,” jelasnya.
Paket EkonomiTerkait rencana Jokowi menerbitkan paket kebijakan ekonomi, ia menilai hal tersebut sebaiknya mencakup dua sisi. Selain sektor perbankan dan keuangan yang diatur melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BI, ia menilai insentif sektor riil melalui kebijakan fiskal penting untuk diberikan.
“Saya kira untuk perbankan sendiri, insentifnya merupakan kewenangan BI khususnya terkait insentif moneter. Sementara, dorongan untuk sektor riil bisa melalui kebijakan fiskal, dan pemerintah juga harus mendorong penyerapan anggaran,” katanya.
Ia menambahkan, pelemahan rupiah juga memberikan dampak yang banyak terhadap industri perbankan. Contoh mudahnya, banyak pinjaman yang pada akhirnya tidak jadi ditarik karena pelemahan rupiah.
“Pemerintah harus punya solusi. Memang lebih banyak faktor eksternal. Ekspor kita lemah karena permintaan ekspor dari negara lain turun karena ekonomi negara tersebut juga turun. Tapi kita harus berhenti impor barang yang kurang diperlukan. Harus ada substitusi produk juga untuk mengurangi impor,” jelasnya.
Sigit menilai Presiden Jokowi beserta jajaran tim ekonominya sudah seharusnya mengerti permasalahan dasar perekonomian negara pada saat ini. Ia menyatakan, rendahnya penyerapan anggaran belanja dan kemampuan ekonomi yang masih rapuh menjadi beberapa faktor pelemahan.
“Pak Jokowi dan tim ekonomi seharusnya sudah tahu betul bahwa masalah pemerintah ini karena belanja anggaran sangat rendah. Rupiah juga fragile karena kemampuan ekonomi kita masih dipandang rendah. Maka kita harus memperbesar kapasitas ekonomi,” ungkapnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memastikan paket kebijakan stimulus pemerintah akan terfokus pada perbaikan sejumlah sektor, antara lain sektor keuangan, energi, investasi, industri dan perdagangan.
Sedikitnya ada sekitar tujuh regulasi yang akan dirilis dalam waktu dekat, antara lain menyangkut pelonggaran aturan kepemilikan properti warga negara asing dan membatas penarikan utang valas swasta.
"Ada banyak sekitar 6-7 macam peraturan. Mulai dari soal seperti kepemilikan rumah atau apartemen oleh orang asing dan pengaturan
debt to equity ratio (DER) ke luar negeri. Kalau modalnya kecil jangan berutang dong nanti susah," ujar Darmin saat ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu (2/9).
(gen)