Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berencana melakukan koordinasi dengan Kementerian Perindustrian dan kalangan industri untuk menggenjot efisiensi harga gas. Hal itu dilakukan guna mendorong kinerja investasi yang sudah existing agar tetap tumbuh dalam situasi pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Kepala BKPM Franky Sibarani menyatakan, efisiensi harga gas merupakan salah satu komponen yang dapat dipertimbangkan sebagai salah satu insentif yang dapat diberikan, untuk meningkatkan daya saing industri nasional yang sudah ada.
“Fokus BKPM, selain menarik investasi dan meningkatkan realisasi investasi adalah menjaga agar investasi yang sudah ada tidak berhenti atau hengkang,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (6/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, lanjutnya, BKPM secara proaktif berkomunikasi dengan kalangan industri untuk membicarakan upaya meningkatkan daya saing mereka di tengah kondisi perekonomian yang tumbuh melambat.
“Kami akan berkoordinasi dengan Menteri Perindustrian untuk merealisasikan hal tersebut,” ungkap Franky.
Franky menambahkan, dirinya sudah bertemu dengan Forum Industri Pengguna Gas, Senin lalu (31/8). Menurutnya, salah satu isu yang mengemuka dalam pertemuan tersebut adalah potensi peningkatan daya saing industri melalui efisiensi harga gas bagi kalangan industri. Ia menyatakan, BKPM akan mengkaji lebih dalam dampak efisiensi harga gas terhadap daya saing industri serta mekanisme yang memungkinkan efisiensi tersebut dapat dilakukan.
“Harga gas berkontribusi cukup besar dalam komponen biaya produksi. Sebagai contoh, industri keramik, komponen harga gas memiliki porsi 30 persen dari biaya produksi, industri petrokimia 10 persen, industri kaca 30-35 persen, industri baja 30-35 persen, serta industri pupuk 80 persen. Apabila efisiensi harga gas dapat diberikan, daya saing industri-industri tersebut tentu akan meningkat,” kata Franky.
Sebelumnya, industri pengguna gas di Sumatera Utara (Sumut) menyatakan mengalami kesulitan dalam menjalankan operasional karena kenaikan harga gas menjadi US$ 14 per mmbtu dari sebelumnya US$ 8,7 per mmbtu, sejak 1 Agustus 2015 yang lalu.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pemakai Gas (Apigas) Sumut, Johan Brien mengungkapkan, secara
head to head, harga gas di Sumut jauh di atas Malaysia dan Singapura. Di dua negara itu, harga gas untuk industri paling mahal US$ 3,8 per mmbtu.
“Kenaikan harga gas hingga dua kali lipat tersebut menjadikan biaya produksi melonjak signifikan, khususnya untuk industri-industri keramik dan sarung tangan yang membutuhkan banyak gas,” ujarnya.
Akibatnya, lanjut Johan, industri lokal sulit bersaing di pasar. Apalagi, produk keramik impor terus masuk ke pasar lokal dengan harga yang lebih murah.
BKPM menyatakan akan berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian dan kalangan industri pengguna gas untuk mencari solusi guna mendorong industri nasional tetap tumbuh, sehingga dapat berkontribusi terhadap upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sebelumnya, BKPM juga berencana membentuk desk khusus untuk menangani permasalahan industri padat karya sektor sepatu dan tekstil,
(gir/gir)