Jakarta, CNN Indonesia -- Nilai tukar rupiah kembali mendapat hantaman dan terperosok melewati level US$ 14.200. Pelemahan ekonomi China dan spekulasi jelang pertemuan petinggi bank sentral AS (The Fed) menjadi salah satu alasan volatilitas pasar uang global.
Bank Indonesia pada Senin (7/9) menetapkan kurs tengah rupiah di level 14.234, melemah dari level 14.178 pada akhir pekan lalu. Sementara itu, di pasar
spot rupiah sempat menyentuh 14.284. Sejak awal tahun ini, rupiah telah anjlok 14 persen terhadap dolar AS.
Direktur Eksekutif Institute Mandiri Destry Damayanti menyatakan memang kondisi saat ini sedang tidak menentu. Destry berpendapat langkah The Fed terkait suku bunga acuan sudah diekspektasi pelaku pasar. Saat ini, ia menilai ekonomi China yang sedang menjadi sorotan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Apalagi ekonomi mereka sedang memburuk. China sudah beberapa kali menurunkan suku bunga, ternyata masih melemah, maka kebijakan lebih difokuskan ke ekspor. Akibatnya nilai tukar yuan didevaluasi,” jelasnya di Jakarta.
Ia menyatakan jika tak kunjung menunjukkan perbaikan, maka terdapat kemungkinan devaluasi lanjutan yuan bakal terjadi. Hal itu, lanjutnya, bisa membuat keadaan makin tidak menentu jika pemerintah tidak siap.
“Yuan bisa saja didevaluasi lagi, China masih
overvalued di level sekitar 120 persen dari 100 persen pada tahun dasar 2010, ketika ekonomi sudah agak stabil,” katanya.
Destry menilai, tahun depan ekonomi China sempat hanya diperkirakan tumbuh 6 persen saja. Hal tersebut serta-merta membuat pemerintah Negeri Panda tersebut melakukan devaluasi untuk menggenjot ekspor.
“Posisi kita dengan China itu
face to face. Kalau didepresiasi mau tidak mau pasti semuanya akan kena di Asia. Kalau China devaluasi, pasti tingkat kompetitif tidak maksimal, maka pasti akan mengkikuti saja. Saya masih melihat akan ada devaluasi lanjutan,” ujarnya.
Senada dengan Destry, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan mengatakan guncangan pasar valuta asing yang turut menyeret rupiah, memang terjadi karena fenomena global.
“Apalagi yang terkena adalah negara yang mengalami defisit neraca transaksi berjalan seperti Indonesia,” katanya.
Namun, dengan adanya penguatan dolar AS saat ini, ia menilai terdapat kemungkinan bahwa penaikan suku bunga acuan AS (Fed
rate) bakal ditunda. Pasalnya, ekspor Negeri Paman Sam tersebut juga ikut terpukul dari penguatan dolar AS.
“Apalagi bank sentral lainnya telah menurunkan suku bunga seperti di Eropa. Devaluasi yuan juga bisa terjadi lagi karena untuk memicu ekspor. Saya kira butuh devaluasi sampai 10 persen walaupun bertahap. Ini yang dikhawatirkan pelaku pasar,” jelas Fauzi.
(gen)