Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintahan Joko Widodo memberikan perlakuan beda terhadap dua mega proyek perkeratapian, yaitu proyek kereta cepat (
High Speed Rail/ HSR) Jakarta–Bandung dan proyek kereta ringan (
Light Rail Transit/ LRT) terintegarasi untuk kawasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek).
Hermanto Dwiatmoko, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub), menyatakan proyek pembangunan LRT diputuskan mendapatkan dukungan pendanaan penuh dari pemerintah melalui anggaran Kemenhub. Alasannya, proyek ini nantinya akan menjadi pilihan transportasi masal perkotaan (
urban tranport) sehari-hari yang bisa mengurai kemacetan Ibu Kota dan sekitarnya.
“
Urban transport itu kan penggunaannya cukup banyak oleh orang,” kata Hermanto saat ditemui di Kantor Kemenhub, Selasa (8/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara untuk proyek HRS, lanjut Hermanto, pemerintah enggan memberikan penjaminan pendanaan proyek itu. Pasalnya, keberadaan kereta cepat Jakarta-Bandung tidak sepenting LRT dari sisi pemanfaatannya.
“Kalau LRT digunakan orang untuk pulang-pergi kantor beda dengan
High Speed Rail yang hanya untuk orang mau bepergian jauh sehingga yang perlu menjadi perhatian adalah
urban transport,” kata Hermanto.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjuk perusahaan pelat merah PT Adhi Karya Tbk sebagai kontraktor pembangunan prasarana LRT. Adapun kebutuhan investasi proyek yang dikerjaan Ahi Karya diperkirakan mencapai Rp 23,81 triliun, yang terdiri dari biaya pekerjaan umum (
civil works) sebesar Rp 19,15 triliun dan biaya fasilitas operasi sebesar Rp 4,66 triliun.
Sedangkan untuk proyek kereta cepat yang jadi rebutan Jepang dan China, Jokowi menegaskan APBN tak akan menanggung sepeserpun biaya proyek itu. Presiden melimpahkan tanggung jawab keputusan proyek tersebut ke Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan mendorong skema kerjasama antarkorporasi (
business to business).