Target Cukai Rokok Picu PHK, Kemenperin Siap Surati Kemenkeu

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Selasa, 22 Sep 2015 23:15 WIB
Kementerian Perindustrian menilai, menaikkan target cukai terlalu tinggi tanpa berdiskusi dengan pelaku usaha menjadi kontraproduktif dan merugikan industri.
Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian. (CNN Indonesia/Gentur Putro Jati)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menolak kenaikan target cukai rokok sebesar 23,5 persen dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 menjadi Rp 148,85 triliun karena dinilai memberatkan pelaku industri dan bisa memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) para pekerja pabrik rokok.

Bahkan untuk menjaga keberlangsungan industri rokok nasional, Kemenperin menyiapkan surat resmi yang akan ditujukan kepada Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro. Surat resmi tersebut meminta Kementerian Keuangan untuk mengevaluasi kembali besaran kenaikan target cukai tersebut.

"Suratnya sudah di meja Pak Menteri Perindustrian, tinggal menunggu disetujui oleh beliau," kata Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, dalam diskusi yang digelar Forum Wartawan Industri di Jakarta, Selasa (22/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Panggah mengakui kenaikan target cukai memang tidak bisa dihindari. Namun jika naik terlalu tinggi dinilainya kontraproduktif terhadap industri. Ia menilai dalam memasang target penerimaan cukai, setidaknya dibicarakan lebih dulu dengan industri untuk mencari jalan tengah yang terbaik.

"Selama ini industri minta kenaikan harga cukai sebesar 6 persen, sedangkan pemerintah sendiri minta naik 23 persen. Ini kan tidak ketemu. Hal ini yang harus dibicarakan lebih intens," kata Panggah.

Ia menuturkan, jika Kementerian Keuangan memasang target terlalu tinggi maka dikhawatirkan penerimaan cukai tidak sesuai dengan yang diharapkan dengan berkaca pada pencapaian tahun lalu.

Jika RAPBN 2016 mengesahkan target cukai hasil tembakau sebesar Rp 148,85 triliun, angka tersebut setara dengan 95,72 persen dari total target penerimaan cukai tahun depan sebesar Rp 155,5 triliun.

Sementara pada 2014, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau hanya mencapai Rp 116 trilun dengan target pencapaian dalam APBN 2015 sebesar Rp 120,6 triliun.

"Ini kan artinya tidak tercapai target cukai untuk tahun lalu. Bagaimana mungkin mau dinaikkan sebesar 23 persen," tegas Panggah.

Sementara Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mukhamad Misbakhun menilai kenaikan cukai rokok pada 2016 dinilai tidak realistis. Ia menyebut sejak 2000 lalu, peta jalan realisasi penerimaan cukai pada 2015 sudah bisa diperkirakan tidak akan tercapai. Namun pemerintah ngotot kembali menaikkan target pada 2016 ketimbang melakukan diversifikasi cukai ke komoditas lain.

Menurut Misbakhun, industri rokok nasional harus dijaga karena menyangkut tenaga kerja yang besar jumlahnya. Jika kenaikan cukai rokok tetap dipaksakan, maka pilihan yang paling rasional bagi pelaku industri adalah dengan melakukan PHK.

"Kalau sudah PHK, pabrik akan mengurangi produksi, dan mau tidak mau penerimaan cukai juga turun,” ujarnya.

Misbakhun juga menuturkan, target penerimaan cukai harus lebih realistis. Sebenarnya apa yang sudah dicapai pada 2015 sudah ada ijonnya.

"Karena 14 bulan. Bagaimana mungkin ini dijadikan dasar basis asumsi untuk mencari target penerimaan cukai hasil tembakau di 2016."

Hal itu bisa menjadi alasan yang rasional, di mana situasi ekonomi seperti ini, pemerintah memberikan sebuah relaksasi terhadap urusan cukai dan perpajakan.

"Yang dituntut dari Komisi XI DPR adalah penerimaan naik berdasarkan realisasi penerimaan 2015. Kami berharap basis penerimaan 2016 itu jangan sampai melebihi 5-7 persen dari basis penerimaan 2015,” katanya.

Sebelumnya Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga telah menolak kenaikan target cukai yang dinilai sangat tidak realistis dan mengancam kelangsungan industri tembakau di tengah perlambatan ekonomi saat ini.

Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Apindo sempat mengusulkan kenaikan cukai yang ideal sebaiknya mengikut angka inflasi yakni 5-7 persen atau sekitar Rp 129 triliun.

"Salah satu konsultan mengatakan industri tembakau itu paling rentan terhadap krisis. Tapi ini pertama kali di dalam sejarah, industri hasil tembakau mengalami kontraksi. Produksi rokok sejak Mei-Juli itu turun. Artinya, mereka yang tadinya inelastis terhadap krisis, menjadi elastis," katanya.

Patuhi Undang-Undang

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Gabungan Produsen Rokok Indonesia (Gappri) Hasan Aoni Aziz mengatakan bahwa pemerintah harus membuka ruang diskusi dengan pelaku usaha dalam menetapkan kenaikan cukai 2016 sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Menurutnya, sesuai amanat UU penentuan besaran target cukai pada Rancangan APBN harus memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri.

“Kemudian baru disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Kami setuju adanya penaikan target cukai rokok, tetapi harus realistis. Selain itu kebijakan penaikan jangan sampai menyalahi UU,” ujarnya.

Selain itu, Hasan menilai pemerintah seharusnya menambah objek cukai yang baru. Ia menyebut pemberlakuan kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan minuman ringan itu bisa dijadikan objek cukai tambahan.

"Salah satu yang saya usulkan adalah minuman berpemanis dikenakan cukai karena merugikan kesehatan manusia sebagai penyebab diabetes, ban karena sifatnya yang hasil daur ulang, dan bahan bakar yang menyebabkan kerusakan lingkungan,” ujar Hasan.

Saat ini, Misbakhun juga masih mengupayakan bagaimana industri kretek tangan bisa mendapatkan insentif pemerintah, dengan melihat sisi pandang bahwa ini produk warisan budaya yang harus dijaga kelangsungannya. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER