Jakarta, CNN Indonesia -- Terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sampai ke angka Rp 14.551 per dolar pada penutupan perdagangan kemarin, membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) gerah. Kantor auditor negara tersebut menyatakan siap mengaudit kebijakan stabilitas nilai tukar yang dibuat Bank Indonesia (BI) apabila diminta oleh Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ketua BPK Harry Azhar Aziz menduga ada kesalahan kebijakan moneter yang membuat rupiah terus terdepresiasi terhadap dolar sehingga diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Audit kebijakan moneter yang dimaksud Harry mencakup keseluruhan kebijakan, termasuk kemungkinan adanya konflik kepentingan dalam pengendalian nilai tukar rupiah.
"Apapun yang diminta Komisi XI DPR terkait kebijakan moneter," ujarnya di Gedung BPK, Jakarta, kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI diatur bahwa BPK tidak bisa melakukan audit terhadap kebijakan bank sentral tanpa ada permintaan resmi dari DPR. Menurutnya, selama ini BPK hanya diperkenankan memeriksa anggaran operasional BI.
"Kalau berkaitan dengan policy moneter, UU BI menyatakan itu harus dengan permintaan Komisi XI DPR," ujar Harry.
Dalam ketentuan UU, jelas Harry, BI merupakan lembaga yang bersifat independen sehingga kebijakannya tidak bisa diaudit. Namun, jika sudah ada permintaan resmi dari rakyat yang diwakili oleh DPR, maka BPK diperbolehkan untuk melakukannya.
"Sampai sekarang belum ada surat dari DPR. Kami tetap tunggu, apakah DPR serius atau apakah ini keinginan satu-satu," tuturnya.
Harry mengaku telah berbicara dengan para pemimpin Komisi XI DPR yang membidangi keuangan guna memastikan keseriusan tersebut. Namun, Harry mengaku sampai saat ini belum ada permintaan resmi dari komisi yang bersangkutan karena masih dalam pembahasan internal Komisi XI.
"Sekarang sedang dibahas apakah mereka serius minta audit kinerja tentang kebijakan moneter. Karena ada anggapan bahwa salah satu pemborosan kurs rupiah karena kebijakan yang salah," tuturnya.
Dua Rapat PlenoMantan Ketua Komisi XI DPR itu menjelaskan legislatif idealnya bisa mengambil keputusan soal audit BI melalui dua mekanisme rapat pleno. Yakni bisa berdasarkan musyawarah mufakat atau melalui voting atau pemungutan suara terbanyak.
"Nah itu kalau disetujui
voting, menyetujui, maka kelembagaannya dilakukan oleh pimpinan DPR. Pimpinan DPR berkirim surat ke pimpinan BPK," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua DPR Setya Novanto menyatakan bakal meminta Komisi DPR yang membidangi keuangan dan perbankan untuk berembuk dengan BPK guna membahas rencana pemeriksaan khusus terhadap BI.
Setya menyoroti persoalan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kini telah menembus angka Rp 14 ribu. Jika nilai tukar sudah menembus lebih dari Rp 14 ribu, Setya menilai mediasi perlu segera dilakukan di setiap lembaga yang terkait.
"Kami minta Komisi XI segera mengundang BPK untuk segera melakukan audit kepada BI mengenai audit dengan tujuan tertentu," kata Setya beberapa waktu lalu.
(gen)