Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 3.293 masalah pengelolaan keuangan negara sepanjang paruh kedua 2014, dengan estimasi dampak finansial mencapai Rp 14,74 triliun.
Dari ribuan kasus tersebut, negara telah dirugikan sebesar Rp 1,42 triliun. Sisanya masih berstatus potensi kerugian negara sebesar Rp 3,77 triliun, dan kekurangan penerimaan senilai Rp 9,55 triliun.
"BPK sebelumnya telah memeriksa 651 objek pemeriksaan dan menemukan sebanyak 7.789 masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan senilai Rp 40,55 triliun. Dan dari masalah ketidakpatuhan tersebut, sebanyak 3.293 masalah berdampak pada pemulihan keuangan negara, daerah, atau perusahaan senilai Rp 14,74 triliun," ujar Ketua BPK Harry Azhar Azis di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (7/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan klasifikasi objek pemeriksaan, kata Harry, sebanyak 135 objek berada pada lingkungan pemerintah pusat. Sementara jumlah terbesar ada pada pemerintahan daerah dan BUMD sebanyak 479 objek, sedangkan 37 objek merupakan BUMN dan badan lainnya.
"Namun tak semua objek memiliki masalah berdampak finansial. Selama proses pemeriksaan, entitas telah menindaklanjuti masalah ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan dengan penyerahan aset ke permerintah maupun perusahaan sebesar Rp 461,11 miliar," jelasnya.
Menurut Harry, salah satu permasalahan yang menjadi sorotan BPK antara lain adalah belanja infrastruktur Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebanyak 137 kontrak, yang pembangunannya mangkrak karena terkendala pembebasan lahan. Padahal, lanjut Harry, konstruksi yang sudah dibayar per 31 Desember 2013 mencapai Rp 5,94 triliun.
"Dengan berhentinya proyek tersebut, mengakibatkan hasil proyek yang belum selesai senilai Rp 5,38 triliun tersebut tidak dapat dimanfaatkan. Selain itu, terdapat pula kerugian negara sebesar Rp 562,66 miliar atas sisa uang muka yang tidak dikembalikan oleh penyedia jasa karena Menteri Keuangan kurang cermat dalam memberikan izin kontrak tahun jamak untuk proyek tersebut," tuturnya.
Selain itu, BPK juga menyoroti masalah laporan penerimaan pajak yang tidak sesuai dengan target. Dalam kasus ini, BPK menilai Kementerian Keuangan kurang kooperatif dalam memberikan data secara cepat. Akibatnya, BPK menemukan potensi kekurangan penerimaan PBB Migas sebesar Rp 454,38 miliar dan PBB migas terutang sebanyak Rp 666,23 miliar.
"Masalah dengan Kementerian Keuangan lainnya adalah ketika kami juga akan melakukan audit sensus pajak. Namun hal itu tidak efektif karena Dirjen Pajak tidak memberikan dokumen yang diminta," kata Harry.
Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR ini berharap setiap entitas negara yang diperiksa lebih kooperatif agar hasil audir BPK lebih maksimal. Dia juga meminta DPR untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja BPK dan entitas pemeriksa lain agar audit berikutnya dapat berjalan secara efektif.
"Karena salah satu pihak yang dapat mendorong efektivitas tindak lanjut tersebut adalah pengawasan yang intensif dari pimpinan dan anggota DPR," tuturnya.
(ags/gen)