Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) tengah berupaya meningkatkan angka devisa hasil ekspor (DHE) yang disimpan pada rekening bank devisa di dalam negeri. Selain mampu menjaga cadangan devisa, sejatinya upaya peningkatan DHE juga diyakini mampu menahan gejolak nilai tukar rupiah.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution membeberkan, sebenarnya telah terdapat kebijakan BI yang mengharuskan DHE diparkirkan di bank devisa domestik. Kewajiban ini tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 Tanggal 14 Mei 2014 Tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (DLUN), yang merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya tahun 2012 dan 2011, berikut Peraturan Bank Indonesia itu berdasarkan UU 24/1999 mengenai Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Akan tetapi, jelas Darmin dalam implementasinya kebijakan ini tidak mewajibkan eksportir dan debitor mengenai tenor penyimpanan (waktu endap) DHE dan DULN, hingga pada upaya konversi ke mata uang rupiah.
Bahkan, Darmin yang kala itu menjabat sebagai Deputi Gubernur Senior BI mengaku sempat dibuat pusing kepala lantaran kebijakan DHE mendapat pertentangan keras dari berbagai pihak termasuk perusahaan minyak dan gas bumi (migas).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka berkilah kewajiban DHE dianggap tak ada di diktum kontrak dan berpotensi merugikan perusahaan.
"Mungkin masih ingat atau tahu dulu waktu saya Deputi Gubernur BI, saya keluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) sangat ramai reaksinya. Pokoknya keras-kerasan lah menentang," ungkap Darmin di kantornya, Selasa (29/9).
Beruntung, meski mendapat resistensi pemerintah dan jajaran BI menyepakati bahwa aturan mengenai DHE tetap dilaksanakan.
Darmin mengklaim kehadiran peraturan tersebut cukup sukses membawa pulang devisa hasil ekspor ke perbankan dalam negeri. Di mana dari 92 persen devisa hasil ekspor yang diraup para eksportir nasional tercatat terparkir di bank dalam negeri.
Namun sayangnya, dalam peraturan DHE BI belum mampu mewajibkan eksportir terkait berapa lama (masa endap) mereka harus menempatkan dana di dalam negeri.
Pasalnya, menurut Undang-undang No 24 Tahun 1999 tentang lalu lintas devisa, dikatakan Indonesia menganut rezim lalu lintas devisa bebas, dimana setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan Devisa.
"Kenapa begitu ya? UU-nya tidak mengizinkan untuk ditahan lebih lama di Indonesia," gumam Darmin.
Darmin mengungkapkan, hal yang juga membuatnya tak habis pikir ihwal belum ajeknya aturan penempatan DHE di dalam negeri adalah posisi Indonesia yang merupakan negara yang memberlakukan suku bunga tinggi secara internasional.
Ia menegaskan, dengan tinggi suku bunga sudah tentu akan menguntungkan para spekulan asing untuk membawa masuk dananya ke Indonesia, yang sejatinya dapat dibelikan surat utang negara (SUN).
Akan tetapi, lantaran tak ada aturan mengenai tenor (masa endap) penyimpanan Darmin mengatakan dana yang disimpan itu pun bebas ditariknya lagi bahkan dapat mengonversinya dari nominal Rupiah ke dolar Amerika Serikat.
Tak ayal, dengan kondisi tersebut Indonesia harus menghadapi kondisi kekurangan suplai valas, dengan kondisi pairing Rupiah yang rawan terkoreksi.
"Banyak devisa yang asal datang sebentar, tapi lalu pergi lagi karena ini (belum ada aturan masa endap)," katanya.
Tarik Dana
Guna menarik minat eksportir untuk menaruh uangnya di Indonesia, tutur Darmin pemerintah dan BI pun berencana menurunkan pajak bunga deposito perbankan secara berjenjang bagi mereka yang mau menyimpan devisa hasil ekspornya di perbankan nasional.
Di mana rencana tersebut telah dimasukkan ke dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid II yang diumumkan, sore kemarin. Untuk eksportir, Darmin mengatakan bisa memperoleh keringanan pajak lebih besar lagi jika dolar yang diendapkan di deposito perbankan dipertahankan lebih lama.
Untuk jangka waktu penyimpanan devisa selama tiga bulan, contohnya pemerintah menjanjikan hanya mengenakan tarif pajak bunga deposito sebesar 7,5 persen. Sedangkan jika devisa disimpan selama enam bulan, Darmin mengatakan eksportir hanya akan dikenakan pajak sebesar 2,5 persen dari bunga yang diterimanya. Sementara jika di atas 6 bulan, tarifnya nol persen.
Untuk satu bulan masa penyimpanan devisa rupiah di perbankan, pemerintah menjanjikan adanya penurunan tarif pajak menjadi 7,5 persen. Kebijakan ini sendiri berlaku untuk kelipatan masa endap.
Jika eksportir tertarik menempatkan dananya dalam deposito selama tiga bulan, mereka hanya dikenakan tarif 5 persen, sedangkan untuk yang berminat menahannya hingga enam bulan ke atas akan dikenakan bebas pajak.
"Untuk devisa yang dikonversi ke Rupiah, satu bulan langsung pajaknya 7,5 persen, tiga bulan 5 persen, dan enam bulan langsung nol persen," tandas Darmin.
(dim/dim)