Rupiah Menguat, BI Nilai Masih Undervalue

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Kamis, 08 Okt 2015 08:53 WIB
"Karena tetap saja walaupun sudah menguat dari Rp 14.700 ke Rp 13.800 itu kan masih undervalue yang cukup dalam juga," ujar Mirza Adityaswara .
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara saat memberikan keterangan terkait penetapan BI rate, seusai Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) cakupan triwulan I-2015. Jakarta, Selasa, 19 Mei 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami penguatan yang signifikan. Namun, Bank Indonesia menyatakan level saat ini masih menunjukkan bahwa nilai rupiah masih di bawah kewajarannya (undervalued).

Tercatat, pada penutupan sesi perdagangan Rabu (7/10) kemarin, rupiah menguat hingga 2,95 persen ke posisi Rp13.821 per dolar AS. Namun Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara menyebut kondisi rupiah tersebut masih di bawah nilai fundamental rupiah yang sebenarnya.

"Karena tetap saja walaupun sudah menguat dari Rp 14.700 ke Rp 13.800 itu kan masih undervalue yang masih cukup dalam juga. Jadi kami masih melihat kalau bisa untuk menguat lebih jauh itu kan akan lebih baik," ujar Mirza di gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/10) malam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mirza mengatakan dengan data ekonomi yang ada saat ini, seharusnya rupiah bisa menguat lebih tajam. Ia melihat masih ada kemungkinan rupiah menguat hingga akhir Oktober atau sebelum bank sentral AS The Fed mengambil keputusan terkait kenaikan suku bunga acuannya.

"Ya kalau perbaikan ekonomi kita membaik, tingkat inflasinya membaik, defisit kita membaik, ya angka fundamentalnya rupiah itu bisa terus membaik," ujarnya.

Mirza juga menanggapi tergerusnya cadangan devisa selama bulan September. Turunnya cadangan devisa menurutnya adalah suatu hal yang wajar bagi sebuah negara yang tengah berjuang menstabilkan mata uangnya.

Pada September lalu, menurut Mirza ekspektasi para pelaku pasar cukup banyak. Namun salah satu yang kuat adalah tentang kenaikan suku bunga acuan AS, sehingga pembelian dolar cukup besar di bulan September.

Namun, lanjut Mirza, pembelian dolar AS di bulan September itu juga membesar pada akhir kuartal II, yang disebabkan pemerintah dan swasta harus membayar utang valas.

"Jadi memang BI harus masuk untuk stabilisasi karena tugasnya BI ya stabilisasi. September juga BI masuk stabilisasi pasar SBN. Cadev kalo turun jumlah yang cukup besar ya dipakai stabilisasi demi stabilitas negeri ini lah, katanya.

Ke depannya, Mirza mengatakan, BI masih terus mewaspadai dua sumber ketidakpastian, yakni data ekonomi AS yang bisa memicu kenaikan suku bunga Fed Rate serta kondisi perekonomian China. Perlambatan ekonomi China yang berlanjut diprediksi akan semakin menggerus permintaan ekspor.

"Tapi kan kalau dari sisi domestik sebenarnya membaik. Inflasinya sudah dengan angka deflasi di bulan September. Lalu untuk inflasi kita akhir tahun itu ya cuma 4 persen lebih dikit aja," jelasnya. (gir/gir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER