Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat menilai kenaikan harga dan tarif cukai rokok tidak akan mematikan industri rokok. Pasalnya, karakteristik produk rokok dinilai inelastis dan kenaikan harga jual rokok tidak akan berdampak signifikan pada penurunan konsumsi rokok.
“Kalau yang sudah merokok, harga dinaikkan dua kali lipat juga tetap saja beli,” kata Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany, dalam Workshop Tembakau dalam Kendali Cukai di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Senin (12/10).
Hasbullah mengambil contoh di Thailand konsumsi rokok tetap naik kendati sudah menaikkan porsi cukainya. Pada tahun 1991 porsi cukai dari harga jual rokok mencapai 55 persen dengan total konsumsi mencapai 1,9 miliar bungkus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ketika cukai rokok Thailand dinaikkan pada tahun 2013 menjadi 83 persen salesnya hampir 2,2 miliar bungkus. Kenapa naik? Karena dalam teori ekonomi ini ada demand inelastis,” ujarnya.
Bahkan, Hasbullah menduga ada kecenderungan rokok memiliki karakteristik barang mewah di mana pembeli akan semakin tertarik untuk membeli ketika harganya semakin mahal.
“Jangan-jangan industri kecil (rokok) yang bangkrut karena produknya tidak mahal, jadi harganya mesti dinaikin supaya orang bangga merokok produk yang mahal. Tapi ini perlu dikaji lagi,” katanya.
Selain itu, Hasbullah memaparkan, berdasarkan pengalaman negara lain, kenaikan harga maupun tarif cukai rokok bisa menangkal perokok muda, menaikkan pendapatan negara, sekaligus industri juga tetap bisa berjalan.
“Kalau cukainya dinaikkan, mereka (perokok muda) tidak beli. Karena mahal harganya, mereka tidak mampu beli. Industri juga dapat untung, pemerintah juga dapat duit, untung,” ujarnya.
Dalam simulasinya, kenaikan harga 20 persen sebungkus rokok isi dua belas batang dari Rp 12 ribu menjadi Rp 14.400 bisa menaikkan nilai total penjualan rokok dari Rp 340 triliun per tahun menjadi Rp 379,4 triliun meskipun konsumsinya terjadi penurunan dari 28,3 miliar bungkus per tahun menjadi 26, 4 miliar per tahun.
Dengan asumsi porsi penerimaan cukai tetap sebesar 57 persen, maka pemerintah bisa meraup kenaikan penerimaan cukai dari Rp 193,8 triliun menjadi Rp 216,3 triliun.
Menurut Hasbullah, idealnya tarif cukai rokok adalah dua kali lipat dari rata-rata inflasi. Dengan demikian penurunan konsumsi rokok baru bisa signifikan terjadi.
“Sekarang rata-rata cukai rokok 11,7 persen (dari harga jual eceran) tapi belum dua kali lipat inflasi yang rata-rata masih tujuh persen. Penjualan Gudang Garam masih naik 14 persen, dua kali lipat dari inflasi, penjualan Sampoerna juga masih naik 17 persen per tahun,” ujarnya.
Sebagai informasi, pemerintah telah menetapkan target pendapatan cukai hasil tembakau (CHT) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 sebesar Rp 142,7 triliun atau naik 2,58 persen dari target penerimaan cukai rokok dalam APBN-P 2015 sebesar Rp 139,81 triliun.
(gir/gir)