Jakarta, CNN Indonesia -- Tak lama setelah dilantik menjadi Presiden RI yang ketujuh, Joko Widodo menginstruksikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meningkatkan setoran Rp600 triliun atau separuh lebih banyak dari yang ditargetkan pemerintahan sebelumnya. Optimalisasi pajak itu diharapkan bisa mendukung pendanaan proyek-proyek ambisius dalam sembilan agenda kerja (Nawa Cita) yang diusungnya.
Sebagai kompensasi, Jokowi memberikan motivasi sekaligus menjanjikan "vitamin" bagi para fiskus berupa kenaikan tunjangan remunerasi. Padahal saat itu sebenarnya DJP sedang sulit-sulitnya menggenjot penerimaan dan menutup tahun lalu dengan shortfall sebesar Rp90 triliun dari target Rp1.072 triliun di APBNP 2014. Perlambatan ekonomi, pelemahan impor, anjloknya harga-harga komoditas, dan keterbatasan SDM menjadi alasan tak tercapainya target tersebut.
Namun, dalam proses politik anggaran di parlemen hal itu tak bisa jadi alasan. Target penerimaan pajak tahun ini tetap disepakati naik 20,7 persen menjadi Rp1.294,3 triliun. Setidaknya target naik hanya Rp222,3 triliun, tidak setinggi yang diinginkan Jokowi, yaitu Rp600 triliun. Kendati demikian tetap bukan target yang mudah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudhito dan jajarannya tetap dipaksa kerja keras dan memutar otak, tak hanya melakukan upaya ekstra (
extra effort), tetapi juga dengan cara luar biasa alias
extraordinary effort. Padahal, sejak awal Ditjen Pajak sudah pesimistis, tercermin dari prognosa penerimaan DJP yang didasarkan pada skenario realistis dan ambisius.
Dalam kondisi normal atau realistis, yang didasarkan pada kegiatan rutin penagihan dan penindakan ditambah
extra effort yang dilakukan para fiskus, diperkirakan penerimaan pajak hanya akan terkumpul sebesar Rp1.046,2 triliun atau Rp249,5 triliun lebih rendah dari target yang dibebankan.
Untuk menutup kekurangan itu, Ditjen Pajak menyiapkan skenario ambisius. Mulai dari menaikkan beberapa tarif pajak, memperluas sasaran wajib pajak, hingga menggiatkan penindakan melalui pencekalan dan penyanderaan (
gijzeling) para pengemplang pajak. Dari kegiatan pengawasan dan penegakan hukum, Dirjen Pajak menargetkan pemasukan sebesar Rp390,2 triliun. Setidaknya di awal tahun sudah terdata 557 wajib pajak yang bakal dicekal dan disandera.
Berdasarkan catatan DJP, saat ini hanya 26,8 juta orang dari total 254,8 juta penduduk Indonesia yang masuk kategori wajib pajak potensial atau patuh. Sisanya belum terjamah karena keterbatasan data dan aparat pajak untuk bisa menagihnya. Ibarat berburu binatang, DJP secara agresif mengupayakan ekstensifikasi pajak dengan menyisir 56 profesi mulai dari pedagang, guru, wiraswasta, wartawan, menteri, anggota DPR hingga Presiden. Hasilnya didapatkan 44,8 juta orang berpenghasilan yang akan menjadi sasaran kepatuhan pajak.
Otoritas pajak di bawah koordinasi Kementerian Keuangan juga merencanakan kenaikan sejumlah tarif pajak dan menyiapkan sejumlah instrumen pajak baru. Mulai dari perluasan objek pajak penghasilan (PPh) badan dan ekspor, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk hasil tembakau dan jasa jalan tol, hingga memungut pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) atas beberapa item barang konsumsi dan properti.
Upaya lainnya adalah mengulang kebijakan penghapusan sanksi administrasi atas pembetulan kesalahan dan keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) yang dikenal dengan
reinventing policy atau
sunset policy jilid II.
DJP juga menyuarakan kebijakan Pengampunan Nasional, yang tak hanya ditujukan bagi para pengemplang pajak tapi juga bagi pelaku kejahatan yang melarikan hartanya ke luar negeri. Atas anjuran politisi Senayan, amnesti diwacanakan tak hanya berupa penghapusan sanksi pidana pajak, tetapi juga pemutihan kasus pidana umum lainnya (
special amnesty). Sebagai imbalannya, setiap pesakitan hukum yang mau mendapatkan Pengampunan Nasional diwajibkan menyetor uang tebusan dengan tarif mulai dari 3 persen hingga 8 persen dari jumlah asetnya.
Meski penolakan publik menguat, Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional diam-diam sudah masuk Badan Legislasi DPR untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ada kesan DPR memaksakan beleid kontroversial segera jadi undang-undang.
Maju Kena, Mundur KenaLangkah DJP memperluas basis pajak dan meningkatkan tarif justru terganjal program stimulus pemerintah. Pertama, kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar 48 persen, dari Rp24,3 juta per tahun menjadi Rp36 juta per tahun. Kebijakan itu secara otomatis mengurangi setoran PPh orang pribadi.
Ada pula fasilitas keringanan PPh bagi pelaku usaha tertentu, mulai dari pengurangan penghasilan netto kena PPh (
tax allowance) hingga
diskon tarif 10 persen hingga 100 persen (
tax holiday) bagi kegiatan investasi di industri pionir. Tercatat 10 perusahaan besar mendapatkan
tax allowance pada tahun ini ditambah 4 perusahaan raksasa yang mendapat hadiah
tax holiday. Secara nominal, DJP enggan menyebut berapa potensi pajak yang hilang dari sana.
Rencana penerapan PPN jalan tol juga tak bisa langsung diterapkan per 1 April 2015 meski Perdirjen Pajak Nomor PER-10/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Jalan Tol telah terbit. Adalah instruksi Presiden Joko Widodo yang meminta waktu penerapannya dikaji ulang. Alhasil penerapannya tidak bisa serempak karena harus mengikuti kenaikan tarif tol yang jadwal penyesuaiannya berbeda-beda untuk setiap ruas jalan.
Terakhir muncul empat paket kebijakan ekonomi, yang salah satu sub kebijakannya adalah tarif PPh badan akan diturunkan dari 25 persen menjadi 18 persen. Lalu juga disebutkan rencana pemangkasan tarif PPh final atas kegiatan penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap yang dilakukan perusahaan swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN).
DJP ibarat kendaraan yang siap tancap gas untuk menabrak aral melintang yang menghadang, tetapi rodanya digembok sehingga sulit maju. Mau mundur pun tak bisa karena bisa dianggap membangkang dan taruhannya jabatan.
RealistisDJP akhirnya tak bisa mengelak dari risiko
shortfall, di mana realisasi pajak sampai 30 September baru 53,02 persen dari target APBNP 2015.
Sigit Priadi Pramudito pun hanya bisa meminta maaf karena instansinya dipastikan tak akan bisa memenuhi target yang diinginkan. Bahkan, ia juga siap pasang badan untuk menerima konsekuensi dari kesalahan strategi yang diterapkan DJP.
"Melihat capaian realisasi, memang kami akui tak bisa mengemban amanah ini. Pada Juli lalu ketika kami ekspektasikan ada shortfall senilai Rp 120 triliun, itu bentuk kejujuran kami kepada masyarakat," kata Sigit di hadapan anggota Komisi XI Dewan Pewakilan Rakyat (DPR), Jumat (9/10).
Nasi sudah jadi bubur, tak etis di tengah jalan mundur. CNN Indonesia jadi ingat ketika dilontarkan pertanyaan pada sebuah forum yang diinisiasi oleh DJP beberapa pekan lalu. "Apa yang anda lakukan jika jadi petugas pajak?". Kami menjawab singkat: “Realistis."
(ags/ded)