Jakarta, CNN Indonesia -- Masihkah anda ingat hingar bingar ketika Joko Widodo mencalonkan diri menjadi Presiden? Berbagai respon positif terjadi, secara sosial hingga ekonomi.
Secara ekonomi, pada 14 Maret 2014 ketika Jokowi menyatakan maju sebagai kandidat Presiden, pelaku pasar langsung memberikan reaksi positif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kala itu melambung hingga 3,23 persen dalam sehari, mencapai level 4.878. Istilah '
Jokowi Effect' kemudian muncul di pasar keuangan.
Jokowi effect berlanjut lagi pada Juli 2014. Setelah
quick count dari beberapa lembaga survei pada Rabu, 9 Juli 2014, yang menyatakan Jokowi unggul, IHSG kembali melambung. Pada perdagangan 10 Juli 2014, IHSG dibuka menguat hingga menembus level 5.100 dan ditutup menanjak 1,46 persen ke level 5.098. Saat itu, rupiah masih perkasa di level 11.574 per dolar AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menguatnya IHSG pada saat itu juga tak lepas dari banyaknya dukungan perusahaan investasi asing yang pro Jokowi. Pada awal Februari 2014, perusahaan finansial asal Negeri Paman Sam, Morgan Stanley bahkan menyebut nilai rupiah bakal terus menguat jika Jokowi menjadi kandidat presiden.
Hal itu serta merta membuat dana asing mengucur deras ke pasar uang Indonesia. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), pada kuartal I 2014 pemodal asing mencetak aksi beli bersih hingga Rp 24,62 triliun. Hal itu kemudian berlanjut pada kuartal II 2014 di mana investor asing mengucurkan Rp 19,49 triliun di lantai bursa.
Penguatan indeks terus berlanjut hingga mencapai puncaknya pada 6 April 2015. Kala itu IHSG mencapai level 5.523, level tertinggi sepanjang masa. Jika dihitung sejak 20 Oktober 2014, saat Jokowi dilantik sebagai Presiden, IHSG telah melambung 9,82 persen. Bahkan, jika dihitung sejak Jokowi mencalonkan diri menjadi Presiden, maka IHSG telah melambung hingga 13,22 persen!
Tapi '
Jokowi effect' tampaknya tidak mampu menahan terpaan badai keuangan global yang datang silih berganti. Tercatat, IHSG telah melemah 18,08 dari level puncak 5.523 ke level 4.524 pada Jumat, 16 Oktober 2015. Bahkan, sebelumnya indeks sempat longsor hingga level 4.163 pada 23 Agustus 2015.
Kepala Riset First Asia Capital, David Sutyanto mengatakan, pada saat Jokowi mencalonkan diri menjadi Presiden, ekspektasi yang muncul di pasar terlampau tinggi. Tapi perjalanan pemerintahannya, berbagai sentimen negatif datang silih berganti. “Istilahnya saat itu Jokowi dianggap cerdas, dan digadang mendapat nilai 9 ketika maju menjadi Presiden, tetapi kemudian ternyata rapornya hanya dapat nilai 7,” ujarnya ketika dihubungi CNN Indonesia, Minggu (18/10).
Dia menilai faktor utama penyebab itu semua itu adalah situasi ekonomi global yang memburuk. “Memang kecewa bukan karena Jokowi jelek tapi karena ekspektasinya yang terlalu tinggi. Tapi ada juga faktor eksternal. Ada kombinasi gejolak Yunani, perlambatan ekonomi China, dan bangkitnya ekonomi AS,” katanya.
Ditambah lagi, David menilai Jokowi lemah dalam hal serapan anggaran. Ia menyatakan hal itu yang membuat ekonomi Indonesia semakin lemah menghadapi gejolak global.
Hal tersebut juga sempat diungkapkan oleh Direktur BEI, Tito Sulistio. Ia sempat menyatakan bahwa pemerintah harus segera menyerap anggaran agar hantaman sentimen global bisa diredam.
Tito menjelaskan, saat ini yang dibutuhkan adalah peran pemerintah dalam mendorong laju roda ekonomi dalam negeri. Ia berharap belanja pemerintah saat ini bisa segera digenjot setelah sempat tertahan di awal tahun.
“Kata Pak Bambang Brodjonegoro (Menteri Keuangan) belanja sudah 56 persen. Kalau dia bilang tahun ini bisa sampai 94-96 persen maka bagus. Lalu jika Pilkada juga jalan dengan bagus, kuartal IV akan bagus. Menurut saya pasar modal akan bagus. Kalau Oktober ada FOMC lagi, saya merasa dampaknya sudah,” katanya di Jakarta, Jumat (18/9).
Sayangnya kombinasi sentimen negatif dari luar dan domestik tersebut terlanjur membuat pemodal asing berbondong bondong menarik dananya dari lantai bursa Indonesia. Tercatat, sejak awal tahun hingga akhir pekan lalu, pemodal asing melakukan aksi jual bersih hingga Rp 11,13 triliun.
Aksi tarik dana pemodal asing yang paling terlihat adalah pada bulan Agustus dan September 2015. BEI mencatat, pada Agustus 2015, pemodal asing mencetak jual bersih hingga Rp 9,82 triliun. Hal itu berlanjut pada September, di mana investor asing melakukan aksi jual bersih mencapai Rp 7,18 triliun.
Kendati demikian, di sisi lain David menilai Jokowi bagus dalam beberapa hal. Salah satunya adalah pengendalian inflasi. David menyatakan bahwa operasi pasar yang dilakukan pemerintahan Jokowi sukses meredam gejolak inflasi. “Orang bilang karena daya beli turun, tapi saya menilai karena operasi pasar yang baik,” ucapnya mengungkapkan.
David juga menyoroti manuver Jokowi yang menerbitkan empat paket kebijakan ekonomi. Menurutnya, empat paket tersebut cukup mampu meredam sentimen negatif, terutama kebijakan yang bersifat memberikan stimulus dan kemudahan investasi.
“Paket itu bisa kita harapkan segera memberi imbas. Pemerintah terlihat menjaga momentum karena paket kebijakan dikeluarkan satu per satu dalam waktu yang berdekatan. Namun yang agak diwaspadai adalah perluasan penerima dan pemangkasan bunga KUR (Kredit Usaha Rakyat). Karena kalau orang kecil yang dikasih bisa bahaya, NPL (tingkat kredit macet) bisa naik, apalagi kalau bunganya rendah,” ujarnya.
Kepala Ekonom Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat mengatakan, pada awal tahun ini IHSG memang masih terhanyut adanya '
Jokowi effect'. Namun, kemudian berangsur memburuk ketika dihantam sentimen eksternal.
“
Jokowi effect memang muncul, tapi terkena banyak sentimen. Memang masalah utama adalah serapan dan adanya maslah eksternal seperti Yunani, The Fed dan China,” ujarnya ketika dihubungi
CNN Indonesia.
Ia menambahkan, saat ini pemerintahan Jokowi perlu segera melakukan revisi budget guna menanggulangi permasalahan makro ekonomi. Budi menilai, dibarengi dengan fokus pembangunan infrastruktur dan berbagai stimulus dari paket kebijakan, maka perekonomian Indonesia bakal berjalan positif.
“
So far, empat paket ekonomi butuh waktu. Jokowi bisa memperbaiki daya beli masyarakat dengan paket ekonomi III. Kemudian ada yang bagus bagi industri dan pekerja terkait rumusan upah di paket IV. Ada juga yang paling kontroversial terkait pengampunan pajak.”
Budi menjelaskan, kendati sejak awal tahun pemodal asing masih mencatatkan jual bersih di lantai bursa, tetapi arena lain, investor asing masih mengucurkan dananya. Ia mengatakan, di pasar obligasi negara, pemodal asing masih mengalirkan dananya. “Investor asing masih
net sell besar di bursa saham. Tapi di pasar
bond (obligasi), asing masih banyak masuk, sekitar Rp7 triliun,” katanya.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, hingga 15 Oktober 2015, pemodal asing menguasai 38,06 persen dari total Surat Berharga Negara (SBN), atau setara Rp 523,75 triliun. Komposisi tersebut meningkat drastis dari posisi pada 2 Januari 2015, di mana pemodal asing hanya menguasai 38,11 persen SBN.
Memperkuat Otot Investor LokalHantaman sentimen negatif dari pasar global yang datang bertubi-tubi tersebut membuat otoritas pasar modal menyiapkan berbagai ramuan untuk memperkuat otot investor lokal. PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) misalnya, menambah jumlah Bank Administrator Rekening Dana Nasabah (RDN) menjadi 9 bank, dengan dua diantaranya merupakan bank syariah.
Direktur Utama KSEI Margeret M. Tang mengatakan persyaratan pengembangan Co-Branding Fasilitas AKSes oleh bank-bank tersebut merupakan upaya untuk memperluas jaringan pasar modal.
"Tidak dapat dipungkiri, saat ini jaringan dan infrastruktur pasar modal lebih terpusat di Jakarta. Hal ini membuat pasar modal sulit berkembang, terlebih untuk mengajak calon investor yang ada di pelosok Indonesia. Kerja Sama KSEI dengan sembilan Bank Administrator RDN diharapkan dapat memperluas jaringan pasar modal melalui perbankan," ujarnya.
Margeret menambahkan, seluruh Bank Pembayaran dan Bank Administrator RDN yang terpilih sudah melalui proses seleksi secara transparan oleh Tim Seleksi KSEI untuk menjamin kenyamanan para pemakai jasa KSEI, sekaligus investor yang bertransaksi di pasar modal Indonesia.
"Bagi Bank Administrator RDN yang bekerjasama dengan KSEI, maka terdapat potensi dana mengendap yang dapat dimanfaatkan, yang rata-rata nilainya sekitar Rp 5 triliun per hari," jelas Margeret.
 Presiden Joko Widodo meresmikan Indonesia Business & Capital Market Television (IBCM) Channel didampingi Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Nurhaida (kiri), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D Hadad (kedua kanan), Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin, 10 Agustus 2015. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Sementara, dalam Peringatan 38 Tahun Diaktifkannya Kembali Pasar Modal Indonesia pada 10 Agustus lalu, OJK meresmikan penaikan batas maksimal dana perlindungan pemodal. Sebelumnya dana perlindungan diputuskan Rp 25 juta per pemodal, namun kini naik empat kali lipat menjadi Rp 100 juta.
“Peningkatan batas maksimal dana perlindungan tersebut dilakukan dalam peningkatan keamanan dan kenyamanan investasi,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman Hadad.
Jokowi yang juga turun tangan untuk meresmikan hal tersebut, menyambut baik kebijakan pro investor itu. Menurutnya, investor harus dilindungi agar pemodal individu semakin meningkat dan iklim investasi di pasar modal Indonesia makin kondusif.
“Saya juga sambut baik kebijakan perlindungan pemodal jadi Rp 100 juta. Tentu saja kenaikan perlindungan investasi enggak bisa berjalan sendiri. Perlindungan hukum dan sanksi harus ditegakkan,” kata Jokowi dalam pidatonya.
Tak hanya itu, BEI pun melakukan manuver strategis untuk memperbanyak jumlah investor. Direktur Pengembangan BEI Nicky Hogan menyatakan tengah melakukan pembicaraan dengan 10 perusahaan tercatat (emiten) terkait rencana pembukaan rekening untuk karyawannya. Bursa menyatakan potensi penambahan investor bisa mencapai 50.000 orang.
Nicky mengatakan pihaknya memang sedang gencar melakukan sosialisasi agar semakin banyak masyarakat yang menjad investor. Ia menyatakan hal itu dilakukan dengan menyasar berbagai segmen.
“Untuk penambahan investor, ada masyarakat, mahasiswa, termasuk juga saat ini kami mencoba menggaet karyawan para emiten. Bagus jika karyawan jadi investor di perusahaannya. Kami harap ada tambahan,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, saat ini bursa sudah melakukan pembicaraan dengan beberapa pihak. Menurutnya, bursa tidak memberikan kriteria khusus untuk perusahaan yang ingin ikut dalam program investor karyawan tersebut.
“Saat ini sudah ada 10 perusahaan di list kami. Besar kecil bukan masalah saat ini. Potensi investor ya bisa 10.000 sampai 50.000 orang,” jelasnya.
(gir/ded)