Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selaku bendahara negara mencatat sampai 7 Oktober 2015, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) baru mengantongi pendapatan sebesar Rp 1.004,1 triliun. Angka tersebut baru memenuhi 56,99 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 yang menitahkan pendapatan sebesar Rp 1.761,64 triliun.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani menjelaskan, dengan realisasi belanja sebesar 64 persen atau setara dengan Rp 1.269,8 triliun maka defisit anggaran yang terjadi saat ini sekitar 2,3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Askolani menyebut rendahnya pendapatan sementara, disebabkan oleh rendahnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) salah satunya akibat rendahnya harga minyak dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada
shortfall karena
lifting minyak jadi lebih rendah dan harganya juga lebih rendah (dari asumsi),” ujar Askolani di Kemenkeu, kemarin.
Sebagai catatan, APBNP 2015 menetapkan asumsi makro harga minyak mentah Indonesia di angka US$ 60 per barel dan
lifting minyak 825 ribu barel per hari (bph). Sementara realisasi di lapangan, harga ICP bergerak di kisaran US$ 42-US$ 44 per barel dengan capaian
lifting minyak 783.390 bph sampai awal Oktober 2010.
Lebarkan DefisitSampai akhir tahun nanti, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menyatakan pemerintah berencana memperlebar batas defisit anggaran APBNP 2015, dari 2,23 persen menjadi 2,7 persen PDB. Hal tersebut menurutnya akan terjadi, setelah BKF melihat adanya kemungkinan penerimaan negara berupa pajak akan meleset (
shortfall) Rp 150 triliun tahun ini. Hal tersebut ditambah dengan realisasi belanja pemerintah yang diperkirakan hanya tercapai 94 persen atau setara Rp 1865,1 triliun saja.
"Kalau shortfall pajak sekitar Rp 150 triliun, lalu ada penurunan setoran pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan macam macam, saya rasa sih dengan 94 persen defisitnya mungkin melebar," ujar Suahasil.
"Kalau kita mau bikin plan, tingkat (defisit) yang aman itu 2.7 persen," lanjutnya.
Menurut Suahasil, angka tersebut hanya batas akhir toleransi pemerintah untuk menambah pembiayaan. Ini agar defisit tidak melebihi batas yang tertera dalam undang-undang (UU) sebesar 3 persen.
(gen)