Jakarta, CNN Indonesia -- Proses politik anggaran di parlemen menjadi sorotan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyusul molornya pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016.
"Diduga ada upaya kepentingan politik yang menyandera pembahasan RAPBN 2016," ujar Apung Widadi, Koordinator Advokasi Fitra melalui keterangan tertulis, Kamis (29/10).
Kecurigaan Fitra menyasar pada kesepakatan akhir di Badan Anggaran DPR, Kamis (15/10), di mana tak seperti biasanya target penerimaan dan belanja disepakati lebih rendah dari yang diusulkan pemerintah, tanpa mengubah besaran defisit anggaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sisi penerimaan, target pendapatan negara disepakati sebesar Rp1.822,5 triliun atau lebih rendah dari yang diusulkan pemerintah Rp 1.848,1 triliun. Namun, terjadi kenaikan sebesar Rp 60,9 triliun atau 3,5 persen jika dibandingkan dengan target pendapatan tahun ini yang sebesar Rp 1.761,6 triliun.
Lebih rendahnya angka kesepakatan tersebut karena target penerimaan perpajakan dikurangi, dari usulan awal Rp 1.565,8 triliun menjadi Rp 1.546,7 triliun. Demikian pula dengan target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipangkas dari Rp 280 triliun menjadi Rp 273,8 triliun.
Dari sisi belanja negara, pagu anggarannya disepakati sebesar Rp2.095,64 triliun atau dipotong Rp 25,74 triliun dari usulan pemerintah Rp 2.121,28 triliun. Namun, jika dibandingkan dengan pagu belanja negara tahun ini (Rp 1.984,1 triliun) terjadi kenaikan sebesar Rp 111,54 triliun.
Dengan dipangkasnya target pendapatan dan belanja negara, masing-masing sebesar Rp25,6 triliun, maka rencana defisit dalam RAPBN 2015 tidak berubah secara nominal atau tetap Rp 273,1 triliun atau 2,1 persen PDB.
Potensi KonflikFitra menilai terdapat beberapa alokasi anggaran belanja negara 2016 yang berpotensi memicu konflik. Pertama mengenai alokasi Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang disepakati Banggar DPR sebesar Rp 34,3 triliun atau lebih tinggi dari usulan pemerintah Rp 33 triliun.
Sebaliknya, target pendapatan bagian laba BUMN pada tahun depan ditargetkan hanya Rp 31 triliun, lebih rendah Rp 5 triliun atau 15,7 persen jika dibandingkan dengan target dalam APBNP 2015 yang sebesar Rp 36 triliun.
"Setiap tahun, target penerimaan dari BUMN selalu turun, seperti target APBN 2015 sebesar Rp 44 triliun namun tidak tercapai," kata Apung.
Potensi konflik berikutnya adalah Transfer ke Daerah dan Dana Desa, yang disepakati sebesar Rp 770,17 triliun atau lebih rendah dari usulan pemerintah Rp 782,2 triliun. Namun, jika dibandingkan dengan alokasi tahun ini yang mencapai Rp 643,8 triliun, terjadi kenaikan sebesar Rp 126,37 triliun.
"Untuk transfer ke daerah ini, DPR meminta untuk memasukan syarat pencairan DAK harus oleh DPR. Selain itu, dalam pasal 12 DPR juga memasukan pasal: (DPR) dapat mengelola anggaran, meskipun ditolak oleh Pemerintah. Upaya ini masih masif diperjuangkan oleh DPR agar dapat menjadi eksekutor anggaran," kata Apung Widadi.
Tak hanya itu, lanjutnya, DPR juga mengusulkan kenaikan anggaran sebesar Rp 740 miliar di luar nota APBN. Anggaran itu diduga Fitra untuk pembangunan gedung DPR.
Sesuai jadwal, RAPBN 2016 seharusnya disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Kamis (22/10). Namun, DPR menundanya karena alasan yang berbeda-beda.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon berdalih besarnya alokasi Penyertaan Modal Negara (PMN) ke BUMN menjadi alasan penundaan. Sementara itu, Wakil DPR lainnya Fahri Hamzah menyebut alotnya pembahasan RUU Pengampunan Nasional menjadi dasar legislatif untuk merevisi turun target penerimaan negara sebesar Rp 500 triliun, yang awalnya diperhitungkan sebagai potensi penerimaan dari uang tebusan amnesti.
"DPR dan pemerintah harus segera mengesahkan APBN 2016 agar tidak terjadi ruang transaksional yang lebih koruptif," ucap Apung menegaskan.
(ags/gen)