Jakarta, CNN Indonesia -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengemukakan sembilan alasan mengapa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus menghentikan proses pembahasan usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional. Selain masalah perbedaan tafsir antara pemerintah dengan DPR, urusan target penerimaan pajak yang berpotensi semakin melenceng dari target menjadi beberapa alasan penolakan.
Apung Widadi, Ketua Tim Advokasi FITRA mengatakan saat ini anggaran negara baik itu dari sisi pemerimaan dan belanja sedang mengalami masa krisis.
“Dari sisi penerimaan pemerintah lemah dalam meningkatkan pendapatan, justru banyak melakukan obral kebijakan pajak yang berdampak pada penurunan pendapatan. Sebaliknya dari sisi belanja, pemerintah banyak mengeluarkan untuk biaya infrastuktur nasional dan memangkas subsidi,” kata Apung dalam risetnya dirilis, Senin (12/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Besarnya dana yang bakal dihabiskan pemerintah untuk membangun infrastruktur, membuat defisit pembiayaan kian menganga. Kondisi ini disebut Apung menjadi pembenaran pemerintah menaikkan jumlah utang luar negeri, sekaligus mencari dana segar melalui pengampunan pajak.
“Permasalahan minimnya penerimaan pajak adalah masalah utama. Seharusnya perbaikan sistem pemungutan menjadi prioritas, bukan sebaliknya justru diberikan pengampunan,” kata Apung.
Hingga 31 Agustus 2015 realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 598,27 triliun atau 46,22 persen dibandingkan target APBNP 2015 sebesar Rp 1.294,258 triliun.
Atas dasar itulah, FITRA menurut Apung menolak dimulainya pembahasan RUU Pengampunan Nasional dengan mengemukakan sembilan alasan:
Pertama, dasar argumentasi RUU Pengampunan Nasional salah tafsir dalam pasal 23 A, hal tersebut bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 pasal 23 dan 23 A tentang pengelolaan APBN dan Pemungutan Pajak. Dimana, pemungutan pajak dalam proses APBN sudah ada sistem hukumnya yang bersifat memaksa, bukan mengampuni.
Kedua, ada skala prioritas revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) revisi Nomor 16 Tahun 2009 perlu didahulukan dari RUU Pengampunan Nasional. Secara substansi, RUU Pengampunan Nasional juga mendegradasi UU KUP terkait kewenangan dan penyederhanaan sistem pemungutan pajak.
“Proses RUU Pengampunan Nasional ini terkesan dipaksakan karena belum ada Naskah Akademiknya, sehingga potensi melanggar aturan sebelumnya akan sangat besar,” kata Apung.
Ketiga, Sistem Pengampunan Pajak telah gagal pada 1964 dan 1984 karena saat ini tidak sejalan dengan sistem dan mekanisme tata cara pemungutan pajak. Sehingga kebijakan tersebut saat itu hanya dimanfaatkan orang tertentu tanpa berdampak signifikan terhadap pendapatan negara. RUU Pengampunan Nasional ini pun sesungguhnya bertentangan dengan KUP dan diprediksi akan kembali gagal.
Keempat, RUU Pengampunan Nasional berpotensi menjadi fasilitas ‘karpet merah’ bagi konglomerat, pelaku kejahatan ekonomi dan financial, dan pencucian uang. Dimana dalam RUU tersebut dicantumkan bahwa, asal seorang atau badan mengajukan pengampunan, maka akan dilakukan proses pengampunan tanpa melihat asal usul harta.
“Tidak disaring, sehingga RUU ini berpotensi menarik banyak uang haram dalam APBN dan perekonomian Indonesia,” kritiknya.
Kelima, pengampunan pajak ini akan semakin memperlebar jarak kemiskinan dan kesejahteraan antara elit dan jelata karena sistem ini tidak adil. Hal tersebut tercermin dari pengampunan yang diberikan dalam bentuk sanksi pidana perpajakan, dan sanksi dengan berupa uang. Hal ini bertolak belakang dengan sistem hukum bahwa semua warga negara sama didepan hukum. Dan semua warga negara wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan. Hal ini akan terasa tidak adil yaitu masyarakat akan merasa membayar pajak sesuai dengan batasnya, namun justru orang kaya memdapatkan perlakuan khusus dari pemerintah. Bagi Apung, jelas bahwa RUU ini menguntungkan elit dan semakin memiskinkan jelata.
Keenam, RUU ini tidak akan efektif mengukur jumlah harta perseorangan dan badan. Dalam RUU ini, pengampunan akan didasarkan pada persentase jumlah harta secara keseluruhan untuk merumuskan berapa besar jumlah uang tebusan. Sistem ini menurut FITRA naif karena masalah rahasia perbankan yang sistem Dirjen Pajak pun belum bisa masuk dan bebas tanpa bantuan penegak hukum.
Ketujuh, jumlah uang muka dalam RUU pengampunan ini sangat kecil dan tidak berdampak pada peningkatan pendapatan negara dari sektor pajak. Tercatat uang tebusan hanya 3 persen, 5 persen, dan 8 persen. Seharusnya tanpa sanksi pidana, uang tebusan diatas 25 persen.
“Ini adalah kebijakan akal-akalan yang berpotensi menguntungkan kelompok tertentu di saat dalam negeri membutuhkan uang segar untuk pembiayaan infrastruktur,” tegasnya.
Kedelapan, amanat pembentukan Satuan Tugas Pengampunan Pajak langsung dibawah Presiden ini tidak akan efektif dan tumpang tindih dengan Dirjen Pajak dan penegak hukum lain. Sistem data dan informasi juga tidak transparan dan akuntabel. Selain itu jika pembiayaan menggunakan APBN semakin memboroskan negara, dan jika sesuai RUU ini dihitung dari persentase jumlah penarikan uang tebusan justru akan bermasalah dari sisi transparansi dan akuntabilitasnya.
Kesembilan, Potensi korupsi berupa ruang transaksional sangat tinggi. Hal ini tercermin dengan pengelolaan yang diserahkan kepada Satgas karena sistem pengawasan, transpransi dan akuntabilitasnya tidak ada. Justru ruang ini akan menjadi proses transpaksional yang legal dengan memanipulasi perhitungan uang tebusan dan lain-lain.
Atas sembilan pertimbangan itulah, FITRA menurutnya memberi tiga rekomendasi terhadap RUU Pengampunan Nasional.
1. Bahwa DPR harus segera membatalkan dan menarik RUU Pengampunan Nasional.
2. Pemerintah harus tegas menolak RUU Pengampunan Nasional masuk dalam Prioritas Pembahasan Legislasi Nasional Tahun 2015.
3. Sebagai alternatif, pemerintah perlu melakukan terobosan dalam pemungutan pajak pengawasan dan perbaikan sistem hukumnya. Sehingga potensi pajak hilang dapat ditarik. Bukan sebaliknya obral pengampunan.
(gen)