Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menetapkan sejumlah asumsi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016.
Dalam pembahasan yang digelar bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu, target defisit anggaran dalam RAPBN 2016 disepakati berada di level 2,15 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau mengalami penurunan 0,31 dari usulan sebelumnya di angka 2,46 persen.
“Hasil pembahasan Panja (Panitia Kerja DPR) ini mengalami perubahan (dari sebelumnya)," ujar Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro seperti dikutip dari laman resminya, Minggu (18/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bambang mengungkapkan, adanya perubahan terhadap target defisit anggaran tersebut tak lepas dari terkoreksinya proyeksi pendapatan dan belanja negara pada 2016.
Tahun depan, pemerintah bersama Banggar DPR sendiri telah menyepakati target pendapatan negara berada di angka Rp 1.822,5 triliun, turun Rp26 triliun dibandingkan dengan target pendapatan tahun ini yang diprediksi mencapai Rp1.848,1 triliun.
Sedangkan untuk proyeksi belanja negara 2016 ditetapkan berada di angka Rp2.095,7 triliun, turun Rp25,6 triliun dari target sebelumnya di Rp2.121,3 triliun.
"Dengan begitu potensi defisit (berkurang dari) 2,46 persen menjadi 2,15 persen,” terang Bambang.
Seperti diketahui, menyusul ditetapkannya postur sementara RAPBN 2016 jajaran Kementerian Keuangan dan Komisi XI juga telah menyepakati ihwal target penerimaan pajak yang berada di angka Rp1.360,2 triliun. Sementara untuk target pendapatan bea dan cukai tahun depan dipatok sebesar Rp186,52 triliun.
Bambang menejelaskan angka penerimaan pajak tersebut berasal dari pajak non migas sebesar Rp1.318,7 triliun dan pajak migas sebesar Rp41,4 triliun. Sementara untuk bea cukai angka tersebut beasal dari penerimaan cukai sebesar Rp146,4 triliun, bea masuk sebesar Rp37,2 triliun dan bea keluar sebesar Rp2,9 triliun.
"Penurunan yang terjadi pada penerimaan pajak antara lain disebabkan karena penurunan ICP (minyak mentah Indonesia) yang ikut menggerus penerimaan PPH Migas. Sementara untuk bea dan cukai disebabkan karena lambatnya pertumbuhan ekonomi yang berakibat pada penurunan cukai," tandasnya.
(dim/dim)