Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menyatakan bakal mencari pinjaman senilai US$ 5 miliar, atau berkisar Rp 67 triliun untuk menutupi
toleransi pelebaran defisit anggaran menyusul melesetnya target penerimaan negara dari sektor perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Direktur Portfolio dan Utang Kementerian Keuangan, Scenaider Siahaan mengatakan guna menutupi defisit tersebut pemerintah akan menarik pinjaman baik bilateral dan multilateral yang diyakini lebih murah ketimbang pasar sekunder.
"Kami akan tarik pinjaman dari World Bank US$2 miliar dari komitmen baru. Asian Development Bank (ADB) bisa dikontak dan siap menyediakan US$750 juta sampai US$1 miliar, lalu pinjaman program lainnya sekitar US$ 1,2 miliar," ujar Scenaider saat ditemui di gedung DPR, Jakarta, Kamis (28/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain lembaga pembiayaan, Scenaider bilang pemerintah juga kembali berencana menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi valuta asing untuk menutupi defisit anggaran 2015. Namun, tegasnya, penerbitan SBN akan dilakukan dengan cara penempatan terbatas atau
private placement dari investor asing dengan target pengumpulan dana mencapai US$1 miliar.
Yang menarik, pemerintah juga akan menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) jika sampai akhirnya besaran defisit membengkak dari defisit angaran tahun ini yang ditargetkan berada di kisaran 2,5 persen hingga 2,6 persen dari produk domestik bruto.
"Iya kita akan cari lagi, tapi kita jaga defisitnya ngga akan lebih dari 2,7 persen," kata Scenaider.
Sebagai informasi sampai 7 Oktober 2015, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) baru mengantongi pendapatan sebesar Rp 1.004,1 triliun. Angka tersebut baru memenuhi 56,99 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 yang menitahkan pendapatan sebesar Rp 1.761,64 triliun.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani menjelaskan, dengan realisasi belanja sebesar 64 persen atau setara dengan Rp 1.269,8 triliun maka defisit anggaran yang terjadi saat ini sekitar 2,3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
(dim/ags)