Harga Gas Tinggi, PGN dan Pertamina Saling Lempar Bola Panas

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Jumat, 13 Nov 2015 09:48 WIB
Tak terima dituding menjual harga gas tinggi, Pertamina desak PGN transparan soal penetapan harga dan sumber pasokan gas.
Pekerja tengah melakukan pengecekan keandalan pipa gas PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). (Dok. PGN)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dua badan usaha milik negara (BUMN) di sektor energi, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dan PT Pertamina (Persero) kembali saling tuding mengenai biang kerok tingginya harga gas di Medan, Sumatera Utara.

Awalnya, pada 10 November 2015 lalu Kepala Divisi Komunikasi Korporat PGN Irwan Andri Atmanto menjelaskan naiknya harga gas untuk pelanggan industri terjadi akibat penetapan harga gas dari Pertamina sebagai pengelola hulu yang sudah tinggi.

Andri mencatat, saat ini harga beli gas PGN yang dialirkan dari kilang regasifikasi di Arun, Aceh, milik Pertamina dibanderol di kisaran US$ 13,8 per mmbtu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berangkat dari hal itu PGN pun melego gasnya ke pelanggan industri di Medan dengan harga US$ 14 per mmbtu.

"PGN hanya mengambil  biaya operasional dan biaya perawatan pipa yang mencapai 700 kilometer (km) sebesar US$ 0,2 per mmbtu. Fokus PGN saat ini adalah memastikan bahwa industri gas di Medan tetap memperoleh energi untuk tetap berproduksi," jelas Irwan dalam keterangan resminya yang dikutip Jumat (13/11).

Tingginya harga gas untuk pelanggan industri di Medan, menurut Irwan akibat habisnya cadangan gas dari sumur-sumur yang selama ini memasok gas ke PGN. Padahal harga gas langsung dari sumur, jauh lebih rendah daripada gas regasifikasi yang diperoleh dari Pertamina.

"Kami memahami situasi yang dihadapi pelanggan industri di Medan. Tapi ini adalah solusi terbaik yang bisa diberikan PGN sekarang," jelasnya.

Mendapat tudingan telah menjual gas terlalu mahal, Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro justru meminta PGN lebih terbuka dan transparan dalam penetapan harga gas untuk konsumen di Sumatera Utara.

Wianda mengatakan di wilayah Sumatera Utara, Pertamina dan anak usahanya mengelola dua sumber pasokan gas yang selama ini dikonsumsi industri.

Ia menyebut pasokan sekitar 4 mmscfd bersumber dari lapangan Pangkalan Susu  yang dikelola Pertamina EP.  Selain itu PGN juga memperoleh pasokan dari Pertamina yang bersumber dari LNG Donggi Senoro sekitar 4 mmscfd.

Wianda mengakui harga gas eks regasifikasi Arun yang dikelola oleh Perta Arun Gas (regasifikasi), Pertagas (transportasi), dan Pertagas Niaga (niaga), sampai di PGN dijual US$ 13,8 mmbtu.

Di mana 85 persen dari komponen harga tersebut ditetapkan pemerintah, termasuk toll fee sebesar US$ 2,58 plus PPN, dan biaya regasifikasi US$ 1,58 plus PPN.

"Namun, harga gas pipa dari Pangkalan Susu yang juga ditetapkan pemerintah adalah sebesar US$ 8,31 per mmbtu. Dengan komposisi tersebut, seharusnya PGN dapat melakukan blending price berdasarkan rata-rata tertimbang harga dan volume pasokan. Ini tidak disampaikan secara terbuka kepada masyarakat sehingga terjadi persepsi keliru," kata Wianda.

Dengan demikian, Wianda menyarankan untuk mengetahui harga beli PGN  dari Pertamina harus mengkombinasikan antara harga dan volume dari dua sumber tersebut. Sehingga tidak bisa mengacu pada satu harga yang lebih tinggi.

"Blended price harga beli gas PGN yang diperoleh dari Pertamina dan anak perusahaannya masih dibawah US$ 11 per mmbtu. Kami mengharapkan agar dalam penyampaian informasi terkait harga ini PGN dapat lebih bijak sehingga tidak memunculkan friksi yang tidak perlu," tegas Wianda.

Infrastruktur Mahal

Menanggapi saling lempar bola panas antar dua perusahaan pelat merah tersebut, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisa Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas mempertanyakan biaya investasi pembangunan pipa gas Arun (Lhokseumawe) menuju Belawan (Medan) atau biasa disebut Pipa Arbel milik PT Pertamina Gas (Pertagas).

Firdaus mencatat, awalnya nilai investasi pembangunan pipa sepanjang 350 kilometer itu sebesar US$ 300 juta. Namun, dalam realisasinya justru membengkak jadi US$ 420 juta.

Dengan selisih investasi yang tinggi, ia menilai Pertagas harusnya bisa menjelaskan penyebab terjadinya hal tersebut. Sebab, investasi di sektor migas baik di hulu dan hilir sangat teknis dan tertutup sehingga jarang terbuka ke publik.

“Bisa dihitung kembali berbagai komponen yang ada, apakah wajar atau tidak," ujar Firdaus.

Besarnya nilai investasi proyek pipa Arun-Belawan ikut menentukan skema harga 'toll fee' yang kemudian akan mempengaruhi besaran harga gas ke konsumen.

Sebagaimana diketahui, industri di Medan mendapatkan pasokan gas antara lain dari fasilitas regasifikasi Arun milik Pertamina.

Gas dari regasifikasi arun itu selanjutnya disalurkan melalui pipa Arun Belawan untuk selanjutnya mengalir ke pembangkit listrik PT PLN (Persero) maupun industri di Medan.

Regasifikasi Arun milik Pertamina mendapatkan gas dari Kilang LNG Senoro. Harga dari Senoro sekitar US$ 7,8 per mmbtu dengan ongkos regasifikasi sebesar US$ 1,7 per mmbtu.

Sementara 'toll fee' yang dikenakan untuk pipa Arun Belawan sebesar US$ 2,5 per mmbtu.

Dari pipa Arun Belawan selanjutnya diteruskan oleh PT Pertagas Niaga (anak usaha Pertagas) dengan mematok margin sebesar US$ 1,8 per mmbtu. Pertagas Niaga kemudian menjual gas kepada PGN sebesar US$ 13,8 per mmbtu, yang kemudian melegonya ke konsumen pengguna akhir US$ 14 per mmbtu.

“Kenapa jatuhnya di 'end user' harga tinggi karena pengembang pipa terlalu mendesain proyek secara berlebihan. Bisnis di migas spesifik teknis dan cenderung tertutup, modus me-'mark up' di bagian infrastruktur, sementara seringkali tidak terbuka," tegas Firdaus. (dim/dim)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER