Jakarta, CNN Indonesia -- PT Freeport Indonesia (PFI) telah 48 tahun menggali tembaga, emas dan perak di Mimika, Papua atau terhitung sejak 1967. Namun, saat ini pemerintah tidak pernah menerima setoran dividen dari Freeport meski mengantongi 9,36 persen sahamnya.
"Pemerintah kan punya 9 persen saham Freeport, itu sebenarnya berhak atas dividen. Namun sejak 2012 tidak dibayarkan karena alasan mereka keuntungannya dikapitalisasi untuk reinvestasi," ujar Direktur Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Keuangan, Anandy Wati kepada CNN Indonesia, Selasa (17/11).
Padahal, tegas Anandy, pemerintah setiap tahun menargetkan penerimaan khusus dari setoran dividen Freeport sebesar Rp 1,5 triliun. Untuk itu, Kementerian Keuangan telah melayangkan surat ke Menteri BUMN untuk mengurus permasalahan dividen perusahaan tambang emas terbesar di dunia ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami pernah menyurati Menteri BUMN untuk mengurusi ini. Akhir tahun lalu kami ingatkan, kok sampai saat ini Freeport tidak setor dividen. Kami minta Menteri BUMN menagihnya," tuturnya.
Selain dividen, lanjut Anandy, ada sejumlah iuran dan pajak yang harus dibayarkan Freeport selaku perusahan tambang asing. Antara lain pajak penghasilan (PPh), iuran tetap, royalti, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB), dan lain-lain.
"Dulu itu royaltinya masih 1 persen, mungkin sudah naik ya. Kalau iuran tetapnya, tahun lalu tidak mencapai Rp 1 triliun, hanya sekitar Rp 900 miliar," jelasnya.
Dorong RenegosiasiAnandy Wati mengungkapkan, sikap Kementerian Keuangan selaku bagian dari pemerintah selalu mengingatkan Kementerian ESDM untuk melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan. Terutama kontrak karya Freeport, yang dinilai Anandy sudah tidak sesuai dengan kondisi dan produksi perusahaan tambang AS tersebut.
"Sebagai penduduk Indonesia, seharusnya kontrak-kontrak yang mau habis bisa dinasionalisasi. Minimal porsi pemerintah ditingkatkan," kata Anandy.
Dia mengatakan, seharusnya Kementerian ESDM bisa memperjuangkan hak pemerintah yang lebih besar dalam proses renegosiasi kontrak tambang. Salah satunya yang didorongnya adalah bagi hasil penjualan mineral dan batubara yang lebih besar.
"Yang lucu dari Freeport itu, kontraknya hanya tembaga. Padahal kandungan mineralnya banyak (varian). Pemerintah seharusnya bisa nego soal itu," katanya.
Secara pribadi, Anandy meyakini Indonesia tak hanya memiliki sumber daya sumber alam yang melimpah, tetapi juga punya sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengelola sendiri tambang Grasberg di Papua.
"Mungkin zaman dulu kemampuan kita belum ada. Tapi sekarang 80-90 persen tenaga
expert dan operasional di Freeport hampir semuanya orang Indonesia. Jadi sebenarnya kalau diambil alih kita sudah siap," tuturnya.
(ags)