Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kardaya Warnika menilai wacana divestasi 10,64 persen saham PT Freeport Indonesia melalui penawaran saham perdana (Initial Public Offering) atau IPO bertentangan dengan hukum.
Dia menilai, keinginan Freeport mendivestasi sahamnya lewat IPO tidak seusai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiataan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
"Apabila dilakukan secara IPO, itu tidak ada mekanisme hukumnya, sehingga menurut kami lebih baik jangan dilaksanakan yang tidak ada ketentuan hukumnya atau tidak nanti malah bikin masalah. Apalagi segala sesuatunya harus berdasarkan ketentuan hukum dan kontrak," ujarnya di Jakarta, Senin (23/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi menurutnya, pelaksanaan IPO malah bisa menggerus kepemilikan saham Freeport oleh pihak nasional karena status perusahaan yang bakal menjadi perusahaan publik. Padahal lanjut Kardaya, pelaksanaan divestasi itu dilakukan demi memperbesar peran nasional di dalam perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut.
"Tujuan divestasi itu agar saham yang dimiliki Indonesia meningkat, makanya mekanismenya diatur seperti itu, yaitu kepada pemerintah. Kalau pemerintah tidak mau ngambil ditawarkan ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)," ujarnya.
Kendati sampai sekarang belum ada sinyal pemerintah mau mengambil alih saham Freeport, namun dia yakin BUMN atau BUMD mau mengambil alih saham Freeport. Apalagi menurutnya, hal itu sejalan dengan UUD 1945 pasal 33.
"Kemarin sudah ada yang menyampaikan kalau BUMN yang berminat ada PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dan PT Aneka Tambang saya kira berminat. Kalau menurut saya ya dekati BUMN saja, itu kalau menurut saya sudah lebih condong ke amanat Pasal 33 UUD 1945," tuturnya.
Tidak Ada AnggaranSebelumnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan kalau pemerintah tak punya niatan untuk mengambil jatah saham divestasi Freeport karena pemerintah tidak punya anggaran untuk hal itu.
"Kita tidak ada anggarannya. Selain itu, mereka juga tidak bayar deviden selama dua tahun belakangan karena itu keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pemegang saham, apalagi minoritas, harus nurut kan?," katanya Jumat (20/11).
Merujuk pada PP Nomor 77 Tahun 2014, Freeport diwajibkan melepas 30 persen sahamnya kepada pemerintah atas badan usaha nasional karena masuk kategori perusahaan tambang bawah tanah.
Sejauh ini, pemerintah baru mengantongi 9,36 persen saham Freeport, sehingga perusahaan tersebut masih harus melepas 20,64 persen sahamnya dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada Oktober 2015 sebesar 10,64 persen saham guna menggenapi kewajiban divestasi hingga 20 persen. Sementara sisa saham sebesar 10 persen, harus kembali ditawarkan pada 2019.
(ags/gen)