Menilik Saham Freeport di Tengah Gonjang-Ganjing Senayan

Giras Pasopati | CNN Indonesia
Rabu, 25 Nov 2015 12:21 WIB
Sejak awal tahun (year to date), saham perusahaan tambang emas terbesar di dunia itu telah amblas 64,23 persen.
Chairman Freeport Mc.Moran, James Robert Moffett saat memberikan keterangan pers mengenai perpanjangan nota kesepahaman ekspor, konsetrat, tembaga dan peningkatan manfaat untuk Indonesia di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Minggu, 25 Januari 2015. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gonjang-ganjing perpanjangan kontrak dan rencana divestasi PT Freeport Indonesia membuat harga saham induk usahanya, Freeport-McMoRan Inc limbung di bursa saham New York.

Pada perdagangan kemarin, saham Freeport-McMoRan (FCX) memang rebound sebesar 3,75 persen ke level US$ 8,3 per lembar. Namun, jika dirunut sejak awal tahun (year to date), saham perusahaan tambang emas terbesar di dunia itu telah amblas 64,23 persen.

Mengutip data CNNMoney, saham perusahaan yang dipimpin James R. Moffett ini sempat bergerak positif dengan menguat 21,47 persen sepanjang Oktober 2015. Namun, karena adanya berbagai sentimen yang terjadi, saham Freeport-McMoRan berbalik lengser 29,48 persen di sepanjang bulan ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepala Riset First Asia Capital David Sutyanto mengatakan, pelemahan harga saham FCX secara fundamental sebenarnya lebih dipengaruhi oleh menurunnya nilai komoditas logam, khususnya emas.

“Pertama, harga komoditas memang sedang buruk. Hal itu yang membuat harga saham Freeport-McMoRan turun secara year to date. Menurut saya, pada tahun depan harga emas masih akan lesu,” ujarnya kepada CNN Indonesia, Selasa (24/11).

Di sisi lain, lanjut David, sentimen gonjang-ganjing kasus perpanjangan kontrak dan divestasi saham PT Freeport Indonesia yang menyeret petinggi lembaga negara juga turut menambah sentimen negatif bagi pergerakan saham Freeport-McMoRan.

“Yang kedua adalah karena adanya ketidakpastian dari perpanjangan kontrak, dan ketidakjelasan divestasi saham kepada pemerintah,” jelasnya.

Terkait divestasi saham Freeport Indonesia, David menilai semua skema memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika divestasi berlangsung tanpa melalui pasar modal, lanjutnya, memang bisa dimungkinkan pengaturan ketat terkait pembelinya.

“Jika misalnya IPO (initial public offering atau penawaran saham perdana) maka bisa lebih transparan dan sesuai GCG (good corporate governance). Tapi misalnya akan ada BUMN yang menyerap, harus yang kompeten baik secara bisnis maupun keuangan,” katanya.

Ia menjelaskan, jika misalnya nanti PT Aneka Tambang (Persero) Tbk atau Antam ditunjuk sebagai salah satu penyerap saham Freeport Indonesia, maka untuk saat ini hal itu hanya bisa dilakukan melalui penawaran saham baru (rights issue). Padahal, Antam baru saja menggelar rights issue demi membangun smelter.

“Lalu kasihan juga investornya nanti. Kalau misalnya Antam rights issue lagi, bisa terdilusi banyak sekali dong sahamnya,” ujar David.

Di sisi lain, Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo mengatakan bahwa masyarakat pasar modal tidak perlu khawatir jika nantinya Freeport Indonesia jadi melantai di bursa. Pasalnya, ia menilai kapitalisasi Freeport masih di bawah PT HM Sampoerna Tbk.

“Freeport tidak akan lebih besar dari Sampoerna. Jadi ya tenang saja. Ini cuma masalah politik terkait kejelasan kontrak karya dan divestasi,” jelasnya.

Satrio menilai, saat ini merupakan saat yang tepat bagi pemerintah untuk segera menyerap saham Freeport Indonesia. Alasannya, ia menilai bahwa posisi Freeport Indonesia saat ini sedang berada di ujung tanduk.

“Freeport itu juga BU (butuh uang) karena salah ekspansi di Meksiko. Apalagi harga emas juga sedang turun. Dengan adanya harga emas yang buruk dan Freeport terjepit, maka pemerintah bisa memaksakan opsi-opsi,” jelasnya.

Dalam sembilan bulan pertama 2015, Freeport Indonesia mampu menyumbang penjualan tembaga senilai US$ 465,3 juta dari total US$ 2,38 miliar. Sementara itu, untuk penjualan emas, Freeport Indonesia menyumbang penjualan senilai US$ 316,34 juta dari total US$ 328,39 yang dibukukan.

Hal itu jelas membuat posisi Freeport Indonesia sangat penting bagi induknya di Negara Adidaya tersebut. Apalagi, Freeport-McMoran membukukan kerugian US$ 8,2 miliar atau sekitar Rp 114,8 triliun karena cadangan minyak tidak berhasil ditemukan usai kegiatan eksplorasi (dry hole) di Teluk Meksiko. (ags/gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER