Jakarta, CNN Indonesia -- Surat Utang Negara atau Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi valuta asing yang diterbitkan pemerintah tahun depan dinilai masih menarik perhatian para investor asing. Indonesia diprediksi masih berpotensi menyerap dana likuiditas yang ada di pasar keuangan.
Handy Yunianto, Kepala Riset Fixed Income PT Mandiri Sekuritas mengatakan dari berbagai instrumen SBN valas yang pernah diterbitkan, SBN berdenominasi dolar Amerika (global
bond) dinilai menjadi yang paling menarik dibandingkan Samurai
Bond, Euro
Bond dan Sukuk Global.
"Kalau dari proporsi kebutuhan tahun depan masih mayoritas adalah global
bond," ujar Handy kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga mengingatkan pemerintah untuk pintar melihat potensi pasar selama 2016 mendatang. Pasalnya selain Indonesia, banyak negara berkembang lainnya yang berlomba-lomba menerbitkan SBN untuk menarik likuiditas sebelum The Fed menaikan suku bunga acuan lebih agresif.
"Saingan kita adalah Filipina, Turki. Namun kalau bicara credit risknya, Indonesia masih menjadi tujuan. Terbukti di Desember permintaan global
bond kita masih cukup kuat," ujarnya.
Pemerintah sendiri telah sukses melakukan
prefunding melalui lelang global
bond US$ 3,5 Miliar pada awal Desember 2015 kemarin.
Imbal Hasil Lebih RendahMandiri Sekuritas juga memprediksi imbal hasil (
yield) SBN pada tahun depan berada pada kisaran 7,89 persen. Estimasi tersebut lebih rendah dari perkiraan
yield pada akhir tahun ini sebesar 8,59 persen.
Handy mengatakan pada 2015
yield SBN bergerak relatif cepat dari waktu ke waktu. Sementara pada 2016
yield akan cenderung stabil dan menurun.
"Pada akhir 2016 diperkirakan
yield akan berada dikisaran 7,89 persen, untuk SBN dengan tenor 10 tahun, turun dari tahun ini," ujar Handy.
Handy mengatakan penurunan ini didorong oleh peluang penurunan inflasi, BI Rate, rupiah dan
credit debt swap (CDS). Handy melihat BI
rate tahun depan akan turun sekitar 50 basis poin dan inflasi dikisaran 5 persen.
"Melihat obligasi ini sangat tergantung dari dua faktor ini inflasi dan BI Rate. Kalau BI Rate naik jangan beli obligasi, begitu juga inflasi," terangnya.
(gen)