Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati meminta Pemerintah Indonesia berhati-hati dalam melakukan evaluasi kerjasama ekonomi yang sudah berjalan dengan Jepang, khususnya Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA).
Alasannya, Jepang adalah negara mitra dagang sekaligus negara yang paling banyak menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga akibatnya akan sangat besar jika Indonesia salah langkah. Dalam hal ini, Enny mengingatkan Pemerintah untuk pintar-pintar melakukan negosiasi serta mengedepankan keadilan bagi kedua negara.
"Sebelum melakukan kerjasama, seharusnya semua sudah dilakukan dengan kalkulasi yang tepat. Sehingga di kemudian hari tidak ada kerjasama yang sedikit-sedikit minta dikaji ulang, apalagi Jepang itu banyak investasinya di sini," jelas Enny melalui sambungan telepon, Jumat (15/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas dasar itu, Enny tidak menyarankan pemerintah untuk membatalkan kerjasama IJEPA yang sudah berlangsung tujuh tahun lamanya. Namun jika opsi itu nantinya dipilih, harusnya terdapat poin terkait konsekuensi pembatalan kerjasama yang dilakukan secara sepihak di dalam IJEPA.
"Seharusnya kedua belah pihak juga mencantumkan beberapa poin mengenai hal tersebut. Jadi kalau nanti pemerintah melakukan hal yang paling ekstrim, bisa terlihat dampaknya seperti apa. Maka dari itu, pemerintah harus bisa melakukan evaluasi secara komprehensif," tutur Enny.
Lebih lanjut, ia menyarankan Pemerintah untuk mengevaluasi perjanjian-perjanjian kerjasama bilateral yang sudah dilakukan dengan negara lain. Tak hanya itu, Enny juga berharap pemerintah tak lupa akan klausul-klausul terkait pembatalan kerjasama di dalam perjanjian itu.
"Karena kalau perjanjian ekonomi ini tidak serius, maka bisa mengancam hubungan antar negara," terangnya.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jepang merupakan kontributor Penanaman Modal Asing (PMA) terbesar kedua setelah Singapura dengan angka US$917,2 juta dan 399 proyek sepanjang Januari hingga September 2015. Angka tersebut mengambil porsi sebanyak 12,39 persen dari total PMA yang masuk sebesar US$7,40 miliar pada periode tersebut.
Sementara itu, data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa Jepang adalah negara tujuan ekspor utama ketiga setelah China dan Amerika Serikat. Total ekspor Indonesia ke negara sakura tersebut tercatat US$10,91 miliar antara Januari hingga Oktober 2015.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan kalau IJEPA perlu dievaluasi ulang karena dianggap hanya menguntungkan Jepang dan merugikan Indonesia. Ia beralasan, neraca perdagangan Indonesia selalu defisit setelah diberlakukannya kerjasama tersebut.
Data Kemendag menunjukkan neraca perdagangan non-migas Indonesia dengan Jepang tercatat defisit sebesar US$388,24 juta antara Januari hingga Oktober 2015. Pada tahun sebelumnya, Indonesia juga mencatatkan defisit sebesar US$2,73 miliar.
Padahal setahun sebelum diberlakukannya IJEPA, ekspor nonmigas Indonesia ke Jepang tercatat sebesar US$13,09 miliar dengan impor senilai US$6,47 miliar, sehingga terjadi surplus US$6,62 miliar.