Jakarta, CNN Indonesia -- Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan adanya tindakan terorisme tidak membuat otoritas tersebut takut karena sistem perdagangan dinyatakan siap hingga 99,89 untuk menghadapi ancaman.
Direktur Utama BEI, Tito Sulistio mengatakan otoritas yang dipimpinnya itu memiliki tingkat kesiapan operasi yang tinggi untuk menghadapi ancaman. Ia menyatakan investor sebaiknya tidak perlu takut transaksi perdagangan bakal terganggu.
“Tingkat kesiapan operasi kami mencapai 99,89 persen dan menerapkan konsep redundancy sistem, jaringan, serta Disaster Recovery Center (DRC),” ujarnya dalam konferensi pers di gedung BEI, Senin (18/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tito menambahkan, sistem transaksi di BEI saat ini memiliki daya tampung harian mencapai 5 juta order, dengan transaksi mencapai 2,5 juta, yang didukung kecepatan proses mencapai 2500 order per detik.
Lebih lanjut, sistem remote trading yang dimiliki BEI saat ini memiliki 505 koneksi dengan anggota bursa. Adapun dari jumlah tersebut tercatat 453 koneksi aktif. Sistem tersebut memiliki fitur online trading yang digunakan 65 anggota bursa, automatic ordering oleh 26 anggota bursa dan direct market access oleh 22 anggota bursa.
“Kami siap menghadapi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,” kata Tito.
Namun, Tito mengakui saat terjadi serangan teror di Thamrin, Jakarta, pelaku pasar mengalami kepanikan dan menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun signifikan saat kejadian tersebut diberitakan ke publik.
“Saat berita serangan keluar, indeks langsung jatuh 1,34 persen. Untungnya indeks kemudian menguat setelah adanya pengumuman penurunan BI rate,” katanya.
Analis Daewoo Securities Indonesia Franky Rivan mengatakan ia menggunakan serangan teror di AS dan Perancis sebagai sampel. Menurutnya, kedua negara itu mengalami beberapa tragedi terburuk dalam kemanusiaan yaitu serangan World Trade Center dan serangan Paris.
“Serangan 9/11 jelas memiliki dampak besar pada pasar saham AS. The New York Stock Exchange (NYSE) dan Nasdaq yang menutup perdagangan pada 11-17 September 2011, untuk mencegah kepanikan dan kekacauan pasar,” katanya dalam riset yang diperoleh CNNIndonesia.com.
Ia menjelaskan, pada hari pertama perdagangan NYSE setelah 9/11, pasar jatuh 684 poin atau setara 7,1 persen, pelemahan terbesar satu hari dalam sejarah AS. Meskipun terjadi aksi jual besar-besaran, pasar saham AS tidak terpengaruh untuk jangka waktu yang terlalu lama.
“Dua tahun setelah tragedi itu, pasar saham kembali ke lintasan positif dalam jangka panjang. Sementara reaksi serangan di Paris tidak sebesar aksi teror AS itu. CAC 40, indeks patokan untuk pasar saham Perancis, tidak melemah signifikan,” katanya.
Menurut analisisnya, pasar saham Indonesia juga menunjukkan gerakan tangguh dalam menanggapi tindakan teroris. Dalam jam ketika para teroris menyerang Sarinah, IHSG mengalami aksi jual besar-besaran tetapi kemudian rebound ke tingkat yang sama sebelum serangan, dalam waktu kurang dari 4 jam.
“Rupiah juga mengikuti pergerakan pasar saham meski sempat melemah hampir tingkat 14.000, tapi kembali ke sekitar tingkat pembukaan hari itu dalam waktu yang juga kurang dari 4 jam,” katanya.
Beranjak dari semua hal di atas, ia percaya dampak terorisme akan selalu berumur pendek pada perekonomian. Efek jangka pendek memang signifikan karena semua orang panik dan melakukan aksi jual seperti hari kiamat.
“Namun melihat gambaran yang lebih besar, ekonomi selalu mengikuti alasan utama untuk bergerak, yaitu fundamental. Setiap kali terorisme terjadi, kami sarankan investor tetap tenang dan jika mungkin, membeli pada saat panik,” jelasnya.