Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menaksir rerata harga jual minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) di sepanjang Januari 2016 berada di kisaran US$33 sampai US$38 per barel.
Hal ini diungkapkan menyusul dirilisnya
Laporan Perkembangan Pasar Minyak oleh jajaran SKK Migas
dan perhitungan mengenai prognosa harga pasca belum adanya kesepakatan di antara negara-negara anggota OPEC seperti Iran dan Arab Saudi mengenai upaya pemangkasan produksi.
Dengan berlebihnya pasokan di tengah perlambatan ekonomi, mengakibatkan harga minyak mentah saat ini berada di level US$28 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan kisaran (harga) seperti saat ini, kalau
gak naik-naik ICP Januari bisa di bawah US$30," ujar Direktur Program Pembinaan Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi, Selasa (19/1).
Seperti diketahui, menyusul
pencabutan sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) terhadap Iran harga minyak mentah dunia kembali menyentuh level terendah sejak 2003.
Mengutip data perdagangan West Texas Intermediate (WTI), Senin (18/1) harga minyak jenis light sweet untuk pengiriman Februari 2016 tercatat turun US$71 sen dan berada di level US$28,71 per barel.
Sedangkan untuk data perdagangan di pasar komoditas London Brent North Sea, harga minyak mentah pengiriman Februari 2016 saat ini bertengger di level US$28,00 per barel.
Berangkat dari hal ini, Adi tak menampik bahwa fenomena pelemahan harga minyak dunia akan berdampak pada turunnya ICP Januari.
Sementara pada Desember lalu, posisi ICP berada di level US$35,47 per barel, anjlok 14,4 persen dibandingkan dengan rerata ICP November yang sekitar US$41,44 per barel.
"Tapi untuk ICP Januari akan kita umumkan di 1 Februari nanti," tambah Adi.
Pada kesempatan berbeda, pengamat energi dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi mengatakan sudah seyogyanya di tengah pelemahan harga minyak pemerintah segera mengubah paradigmanya terhadap pemanfaatan minyak dan gas bumi (migas) dari sumber penerimaan negara, menjadi sumber penggerak ekonomi.
Selain itu, mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (TRTKM) ini berpendapat jajaran Kementerian Keuangan
harus menyiapkan beberapa insentif fiskal guna menjaga investasi dan mempertahankan produksi minyak nasional.
Pemberian insentif sendiri dimaksudkan agar dampak penurunan harga minyak tak lantas membatalkan sejumlah proyek minyak dan gas strategis di Indonesia, seperti pengembangan Blok Masela oleh Inpex Corporation dan Indonesia Deep Water Development (IDD) oleh Chevron Indonesia Company.
"Jangka pendek, Pemerintah juga harus menekan Pertamina untuk menaikan produksi minyak di ladang minyak yang dikuasai Pertamina. Selain itu juga harus memberikan kemudahan dan fasilitas bagi investor, utamanya investor dalam negeri, untuk investasi di ladang2 minyak Indonesia," imbuh Fahmy.
(dim)