Arbitrase, Pengadil Terbaik Sengketa Indonesia dan Freeport

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Senin, 01 Feb 2016 10:43 WIB
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam Ahmad Redi menilai pemerintah seharusnya lebih berani mengajukan lebih dulu Freeport ke arbitrase internasional.
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam Ahmad Redi menilai pemerintahan Joko Widodo seharusnya lebih berani mengajukan lebih dulu Freeport ke arbitrase internasional. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengadilan arbitrase internasional dinilai dapat menjadi hakim terbaik yang akan melerai dan memutuskan sengketa antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia. Bagi Pengamat Hukum Sumber Daya Alam Ahmad Redi, jalan arbitrase harus ditempuh sehingga dapat memberi kepastian bagi kedua pihak.

“Segala bentuk dugaan pelanggaran hukum dan kontrak karya (KK) harus ditempuh oleh Pemeritah Indonesia melalui arbitrase, sehingga dapat menjadi jalan terbaik bagi penyelesaian masalah Freeport,” kata Redi, Senin (1/2).

Ia berpendapat, ketika mewajibkan Freeport untuk tunduk kepada ketentuan pengolahan bahan galian tambang di dalam negeri sesuai Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (minerba), maka sebaiknya pemerintah mendasarkan kewajiban tersebut sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan dalam KK.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Untuk memastikan dalil hukum tersebut, forum arbitrase menjadi forum penguji dan penyelesai sengketa antara Pemerintah dan Freeport,” jelasnya.

Redi mengungkapkan, kesepakatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri tersebut sesungguhnya telah diatur dalam Pasal 10 ayat 4 dan ayat 5 perpanjangan KK yang diteken pada 1991 lalu. Beberapa substansi yang dicantumkan dalam pasal tersebut, antara lain:

1. Freeport harus mengolah bijih untuk menghasilkan logam atau produk lain;
2. Untuk tujuan pengolahan bijih tersebut, Freeport harus menyusun atau mengusahakan untuk disusun Studi Kelayakan mengenai kemungkinan didirikannya pabrik peleburan di Indonesia yang harus tunduk pada pengamatan Pemerintah dan penilaian bersama oleh Pemerintah dan Freeport mengenai kelayakan ekonomi pabrik peleburan tersebut;
3. Pabrik peleburan harus berlokasi di Indonesia dan harus pula menguntungkan secara ekonomi; dan
4. Apabila pabrik peleburan tersebut dibangun oleh perusahaan atau subsidiari yang seluruh sahamnya dimiliki perusahaan, pabrik peleburan tersebut akan merupakan satu bagian dari pengusahaan berdasarkan KK.

“Selain itu, dalam KK dinyatakan pula bahwa Freeport menyadari kebijakan Pemerintah yang ingin mendorong pengolahan di dalam negeri atas semua kekayaan alamnya untuk menjadi produk-produk akhir,” kata Redi.

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara tersebut melanjutkan, dalam Pasal 10 ayat 5 KK juga dinyatakan bahwa apabila dalam jangka waktu lima tahun sejak ditandatangani KK fasilitas peleburan dan pemurnian yang berlokasi di Indonesia belum dibangun atau tidak dalam proses untuk dibangun oleh badan lain, maka Freeport tunduk kepada penilaian bersama oleh Pemerintah dan Freeport atas kelayakan ekonomi dari suatu pabrik peleburan dan pemurnian tembaga di Indonesia sesuai dengan kebijakan Pemerintah.

“Bila pemerintah kebijakannya menginginkan Freeport untuk membangun pabrik peleburan dan pemurnian, maka menurut ketentuan dalam KK, Freeport harus membangunnya,” tegasnya.

Tidak hanya itu, Pasal 23 ayat 2 KK menyatakan bahwa Freeport akan menaati semua UU dan peraturan-peraturan dari waktu ke waktu yang berlaku di Indonesia.

“Artinya dalam KK pun ada kewajiban bagi Freeport untuk melaksanakan semua peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk kewajiban pembangunan smelter,” kata Redi.

Harus Berani

Dengan dasar hukum yang kuat tersebut, Redi mengaku tengah menanti keberanian pemerintah untuk menguji dan lebih dulu mengajukan Freeport ke forum arbitrase internasional dalam rangka menegakkan kedaulatan hukum bangsa. Ia menilai apabila Freeport diduga melanggar peraturan perundang-undangan dan kontrak maka Pemerintah harus mendapatkan haknya dengan mengajukan dugaan pelaganggaran tersebut ke forum arbitrase.

“Forum arbitrase bukanlah forum yang menakutkan, sehingga ke-enggan-an Pemerintah ‘takut’ bersengketa di arbitarse harus disingkirkan. Diperlukan kepemipinan nasional yang kuat untuk memastikan bahwa, Pemerintah Indonesia tidak menyukai segala bentuk tindakan tidak adil bagi bangsa ini,” katanya.

Namun, apabila Pemerintah memandang tidak perlu mengajukan arbitarse maka sebaiknya Pemerintah harus tegas dan keras dengan tidak memberikan izin ekspor konsentrat kepada Freeport karena tidak menaati UU Nomor 4 Tahun 2009 dan lalai terhadap ketentuan-ketentuan dalam KK.

Risikonya menurut Redi adalah Pemerintah bisa diajukan ke lembaga arbitrase oleh Freeport karena kekonsistenan Pemerintah melaksanakan undang-undang dan KK. Bila ini terjadi, maka Pemerintah harus dengan senang hati menghadapi gugatan tersebut.

“Sekali lagi, pertambangan Indonesia harus memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya sekelompok kecil perusahaan. Bangsa yang waras ialah bangsa yang tidak akan diam ketika kekayaan alamnya dirampas asing tanpa memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya,” tegas Redi. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER