Jakarta, CNN Indonesia -- Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi) berharap pemerintah mengkaji ulang Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) no. 127 tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Barang Modal dalam Keadaan Tidak Baru, di mana pengguna langsung (end user) bisa mengimpor alat berat secara langsung.
Ketua Hinabi, Jamaluddin mengatakan aturan itu berpotensi mengganggu produksi dalam negeri yang saat ini utilisasinya tidak maksimal. Ia menuturkan, saat ini kapasitas industri alat berat tercatat sebesar 10 ribu unit per tahun, namun hanya terpakai 40 persen saja.
"Kalau peraturan itu tetap diberlakukan, maka akan sangat mengganggu motivasi produksi kami. Karena alat berat bekas yang masuk ke sini tentu akan menggerus penjualan alat berat produksi dalam negeri dan ujung-ujungnya menyebabkan produksi menjadi terganggu," jelas Jamaluddin kepada
CNNIndonesia.com, Senin (1/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa hal itu juga bisa menyebabkan produksi tahun ini di bawah target yang telah ditetapkan, yaitu empat ribu unit. Namun, sampai saat ini instansinya belum menghitung potensi pengurangan yang bisa terjadi jika beleid ini terus diberlakukan.
"Tapi sebagai gambaran, kami telah mengurangi jumlah pegawai sebanyak empat ribu sejak tahun 2013. Kalau begini, kami bisa lakukan apa? Memang kondisinya kini tengah susah ditambah susah lagi," tambahnya.
Ia mengaku Hinabi diikutsertakan di dalam perumusan kebijakan ini, tetapi ternyata hasil jadinya tak sesuai seperti apa yang diharapkan. Pada saat diskusi dengan pemerintah, Jamaluddin bersitegas hanya alat berat bekas yang belum bisa diproduksi di Indonesia saja yang diperbolehkan untuk diimpor.
"Tak hanya pelarangan alat berat bekas tertentu saja, namun alat berat baru pun kalau kami bisa produksi ya jangan diimpor. Bahkan hal ini sudah kami ajukan langsung ke Presiden," tuturnya.
Contoh alat-alat berat yang masih belum bisa diproduksi oleh produsen dalam negeri, katanya, adalah alat berat dengan skala kecil dan juga buldoser ukuran besar. Maka dari itu, ia berharap Pemerintah kembali memperbaiki peraturan tersebut dan memasukkan usulan asosiasi seiring produksi alat berat dalam negeri yang makin melemah.
Produksi Turun
Jamaludin menyatakan, data Hinabi menunjukkan produksi alat berat di tahun 2015 sebesar 3.535 unit atau menurun 31,65 persen dari angka tahun sebelumnya 5.172 unit. Produksi itu didominasi oleh ekskavator hidrolik dengan porsi 95,5 persen atau 3.376 unit.
"Kami harap peraturan ini bisa diubah agar bisa menyelamatkan produksi dalam negeri yang saat ini sedang dalam kondisi tak baik," ujar Jamaluddin.
Sebagai informasi, peraturan tersebut mencatat buldoser, ekskavator, mesin perata, angledoser, dan leveller mesin pengikis sebagai beberapa alat berat yang bisa diimpor secara langsung dengan usia alat berat maksimal selama 30 tahun. Beleid ini dimulai pada tahun 2016 dan berlaku hingga tahun 2018 mendatang.
Sebelumnya, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) juga mempermasalahkan peraturan yang juga memperbolehkan impor truk secara langsung ini. Ketua I Gaikindo, Jongkie Sugiarto mengatakan kalau kebijakan ini bisa mematikan industri truk dalam negeri karena truk bekas impor dinilai memiliki harga jual yang lebih murah.
"Importasi truk bekas juga sangat tidak ideal karena akan mematikan industri truk dalam negeri. Kami inginnya importasi truk bekas itu yang ukurannya besar seperti di atas 40 ton, di mana truk ukuran itu tidak diproduksi di Indonesia," jelas Jongkie di Jakarta, pekan lalu.
(gir/gen)