Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menyebut Indonesia belum perlu mengadopsi kebijakan suku bunga negatif seperti yang diterapkan oleh sejumlah bank sentral negara lain. Menurut Bambang, Indonesia masih memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang besar, sehingga instrumen untuk menggenjot perekonomian tidak hanya berasal dari penurunan suku bunga.
“Itu (suku bunga negatif) diterapkan pada negara yang ekonominya sudah stagnan sebagai instrumen untuk mendorong pertumbuhan. Kita tidak perlu
negative rate untuk tumbuh, potensi pertumbuhan kita masih ada kok,” ujar Bambang di Jakarta, Jumat (12/2).
Sumber pertumbuhan tersebut bisa dicapai melalui peningkatan investasi di dalam negeri. Menurutnya justru saat ini Indonesia harus mengambil kesempatan menerima investasi lebih akibat penurunan suku bunga negatif yang diterapkan oleh bank sentral Jepang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Suku bunga yang negatif, artinya berinvestasi di Jepang jadi tidak menarik. Justru ini kesempatan yang harus diupayakan dengan cara menarik investasi Jepang ke Indonesia. Istilahnya, mereka taruh uang di negaranya sendiri tidak menghasilkan apa-apa,” katanya.
Kendati demikian, Bambang mengatakan pemerintah tidak akan memperbesar porsi penerbitan surat berharga guna menampung potensi masuknya dana dari negara-negara yang memiliki suku bunga negatif. Menurutnya pagu penerbitan SBN sebesar Rp532 triliun tahun ini sudah cukup.
“Kita jalankan sesuai yang sudah direncakan, karena kita ada pagunya. Namun secara
timing pasti akan kita manfaatkan,” katanya.
Chief Economist BCA David Sumual mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berpotensi terus tumbuh jika dibandingkan Jepang yang juga menerapkan suku bunga negatif menjadi -0,1 persen.
Suku bunga yang negatif dianggap mampu mendorong konsumsi masyarakat lebih tinggi, akibat kecilnya imbal hasil yang didapat pada saat harus menyimpan uangnya dalam bentuk deposito di bank.
Alasan Jepang membuat negatif suku bunganya menjadi -0,1 persen adalah akibat pergerakan ekonomi sektor riil yang terus menurun. Selain itu potensi produktivitas penduduk Negeri Sakura juga diprediksi semakin berkurang dalam beberapa tahun kedepan.
“Mereka sudah sulit tumbuh, karena masalahnya bukan hanya di sektor moneter. Ekonominya sulit bergerak karena mereka kalah bersaing dengan China, penduduk mereka juga sudah tua akibatnya produktivitas dan
size ekonominya menurun,” ujar David saat dihubungi.
(gen)