Biaya Ekspor Bengkak, Pengusaha Mebel Salahkan Mendag Thomas

CNN Indonesia
Senin, 15 Feb 2016 11:17 WIB
Permendag Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang tidak mewajibkan SVLK membuat produk mebel Indonesia dikenakan biaya pemeriksaan di Eropa.
Permendag tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang tidak mewajibkan SVLK membuat produk mebel Indonesia dikenakan biaya pemeriksaan di Eropa. (ANTARA FOTO/Moch Asim).
Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) dan Asosiasi Industri Permebelan Dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) meminta Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong merevisi kembali Peraturan Nomor 89 Tahun 2015 yang dirilisnya pada akhir tahun lalu karena menyebabkan biaya ekspor produk mebel Indonesia membengkak.

Direktur Eksekutif APKI Liana Bratasida menjelaskan aturan berjudul lengkap Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan itu menghapuskan kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bagi produk furnitur. Menurut Liana, hal tersebut bertentangan dengan perjanjian Forest Law Enforcement Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA) yang sudah ditandatangi Indonesia dengan Uni Eropa.

"Dampaknya ketika kita ekspor ke Eropa harus diperiksa dan kena biaya US$2.000-US$2.500 per invoice. Kami jadi rugi waktu dan biaya," ujar Liana, kemarin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal, jika semua produk hasil kehutanan Indonesia tetap wajib SVLK, maka produk hasil kayu akan masuk dengan mudah ke Eropa. Liana mengaku khawatir, dengan berubahnya aturan wajib SVLK untuk industri furnitur akan berdampak pada tertundanya pemberlakukan FLEGT VPA yang rencananya akan berlaku pada April 2016.

Jika Mendag tetap mempertahankan aturan tersebut, kredibilitas SVLK akan menurun dan akan membuat banyak perusahaan enggan mengurus SVLK. Dampaknya, kepercayaan pasar dunia terhadap produk hasil kehutanan Indonesia akan berkurang.

"Bila tetap tidak direvisi, dikhawatirkan ada seruan boikot terhadap produk hasil hutan Indonesia di Eropa. Padahal dengan bisa masuk pasar Eropa, masuk pasar lainnya lebih mudah," jelasnya.

Apalagi ia menambahkan, SVLK merupakan komitmen dari pemangku kepentingan mulai dari Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pelaku usaha untuk membenahi tata kelola kehutanan, memberantas illegal logging dan meningkatkan daya saing produk serta meningkatkan keterimaan produk Indonesia di pasar luar negeri.

Terkait dengan kesulitan pendanaan oleh Industri Kecil dan Menengah (IKM) untuk mengurus SVLK, Liana mengatakan, pemerintah bisa membantunya. Menurutnya, asosiasi sudah mengirimkan surat kepada Dewan Pertimbangan Presiden terkait keluhan pengusaha hasil hutan ini. Liana mengakui saat ini dari 64 anggotanya, baru 27 perusahaan yang sudah mempunyai SVLK.

"Kenapa tidak semuanya? Karena tidak semua anggota APKI mengekspor produknya. Kalau yang ekspor pasti mengurus SVLK," jelasnya.

Inkonsisten

Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan Dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Rudy Luwea juga menyayangkan, pemerintah tidak konsisten dalam pemberlakukan SVLK. Padahal, dengan adanya aturan itu sangat membantu produk hasil hutan Indonesia diterima di Eropa.

“Kita harus bangga, sertifikat lokal (SVLK) bisa diakui dunia,” ujarnya.

Padahal, dulu Eropa selalu curiga dengan produk hasil hutan kita berasal dari kegiatan illegal logging. Dengan dihapusnya kewajiban SVLK bagi industri furnitur merupakan suatu kemunduran.

“Pembeli di Eropa akan mempertanyakan lagi asal kayu kita,” jelasnya.

Rudy khawatir, ketika Eropa memberlakukan wajib produk ramah lingkungan, Indonesia akan kesulitan karena sertifikatnya tidak diakui Eropa. Akhirnya, pengusaha harus mengurus sertifikat yang Eropa mau yang banyak dipegang oleh LSM asing.

“Pasti minta macam-macam dan harganya lebih mahal. Karena itu, SVLK harus dipertahankan,” tegasnya.

Rudy berharap, implementasi FLEGT VPA bisa dilakukan secara menyeluruh tahun ini karena akan meningkatkan ekspor produk hasil hutan Indonesia. Saat ini, dia bilang, ekspor ke Eropa mencapai 30 persen dari total ekspor industri hasil kayu.

“Ke depannya jika kita bisa mudah masuk Eropa tentu ekpornya akan meningkat lagi,” katanya. Rudy menambahkan, saat ini 300 anggotanya sudah memiliki sertifikat SVLK.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan, terbitnya Permendag Nomor 89 secara tidak langsung memberatkan para pengusaha kayu dan juga turunannya.

"Tadi dilaporkan oleh APHI (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) bahwa setelah keluar Permendag 89, itu mereka mengalami kesulitan di Eropa, karena dinilai dengan tidak lagi menggunakan SVLK, Eropa melakukan verifikasi," kata Siti.

Siti menjelaskan, para pengusaha Eropa telah mengakui SVLK bagi produk kayu dan turunannya. Dengan adanya Permendag 89, otomatis sertifikat tersebut tidak berlaku lagi.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER