Jakarta, CNN Indonesia -- Perusahaan tambang batubara, PT Adaro Energy Tbk mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 17 persen menjadi US$151 juta pada 2015, dari US$183 juta di tahun sebelumnya akibat turunnya pendapatan usaha karena pelemahan harga jual rata-rata.
Presiden Direktur dan CEO Adaro Energy Garibaldi Thohir mengatakan kegiatan operasional tetap berjalan dengan baik di tengah-tengah tantangan yang dihadapi di pasar batubara dan ketidakstabilan ekonomi dunia.
“Kami yakin bahwa penurunan saat ini merupakan bagian dari siklus dan fundamental batubara tetap kokoh,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (15/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga memperkirakan bahwa Indonesia, negara-negara Asia Tenggara lainnya dan India akan membutuhkan batubara dengan skala yang lebih besar lagi untuk memastikan kecukupan pasokan listrik demi mendukung pertumbuhan ekonomi masing-masing.
Adaro membukukan pendapatan usaha dengan penurunan 19 persen menjadi US$2,68 miliar akibat penurunan volume penjualan sebesar 7 persen dan penurunan harga jual rata-rata sebesar 14 persen.
Lebih lanjut, biaya royalti kepada Pemerintah Indonesia turun 22 persen menjadi US$277 juta, yang sejalan dengan penurunan pendapatan. Royalti tersebut meliputi 13 persen dari total beban pokok pendapatan pada 2015.
Sementara total produksi batubara Adaro turun 8 persen menjadi 51,46 juta ton, atau sedikit di bawah target yang telah ditetapkan pada kisaran 52 sampai 54 juta ton, Adaro mencatat kenaikan produksi sebesar 25 persen dari tambang Balangan hingga menjadi 1,11 juta ton.
Perusahaan menurunkan biaya kas batubara (tidak termasuk royalti) sebesar 16 persen menjadi US$27,98 per ton terutama karena penurunan nisbah kupas serta biaya bahan bakar yang lebih rendah daripada anggaran, dan di bawah target yang telah ditetapkan pada kisaran US$31 sampai US$33 per ton.
Laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) operasional Adaro, tidak termasuk komponen akuntansi non operasi, turun 18 persen menjadi US$730 juta.
Sebelumnya perusahaan menetapkan target EBITDA pada kisaran US$550 juta sampai US$800 juta. Lebih lanjut, Adaro mencatatkan laba inti sebesar US$293 juta.
Adaro mencatatkan saldo kas sebesar US$702 juta dan fasilitas pinjaman bank dengan komitmen penuh sebesar US$60 juta yang belum dipakai, yang dapat menjadi penunjang pada situasi yang sulit saat ini.
Sementara posisi utang bersih perasahaan turun sebesar 25 persen menjadi US$865 juta, sehingga rasio utang terhadap EBITDA operasional 12 bulan terakhir mencapai 1,18x dan rasio utang bersih terhadap ekuitas mencapai 0,26x.
Adapun belanja modal perusahaan tercatat turun 41 persen menjadi US$98 juta, sejalan dengan panduan belanja modal yang ditetapkan pada kisaran US$75 sampai US$125 juta.
Total aset Adaro tercatat turun 7 persen menjadi US$5,95 miliar dan aset lancar turun 14 persen menjadi US$1,093 miliar, dengan faktor utama penurunan kas dan piutang dagang dari pihak ketiga.
Aset tidak lancar turun 5 persen menjadi US$4,86 miliar terutama akibat penurunan properti pertambangan dan aset tetap, yang masing-masing turun 3 persen dan 9 persen.
Jumlah kas perseroan juga turun 6 persen menjadi US$702 juta, dimana 94 persen dari jumlah tersebut bermata uang dolar AS. Kas meliputi 12 persen dari total aset.
(gir)