Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo meminta pemerintah mengungkapkan opsi untuk menambal selisih kurang penerimaan atau defisit tahun ini mengingat uang masuk ke kas negara belum sesuai ekspektasi.
Menurut Agus, kebijakan untuk menjaga ruang fiskal menjadi hal krusial yang perlu dijelaskan ke publik guna meningkatkan kepercayaan pelaku pasar dan investor.
"Apakah akan ada pemotongan belanja atau perlu dibiayai oleh surat utang? Ini perlu dijelaskan sehingga ranking Indonesia bisa lebih baik dan segera dinaikkan," ujarnya di Jakarta, Jumat (18/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agus menilai hingga pertengahan Maret 2016 kondisi ekonomi nasional terus membaik, ditandai dengan laju inflasi yang terjaga, daya beli masyarakat yang membaik dan derasnya realisasi investasi pemerintah melalui APBN. Indikator membaiknya ekonomi pun terlihat dari turunnya nilai kontrak proteksi risiko kredit (Credit Default Swap). Selain itu, lanjutnya, tekanan ekonomi eksternal juga mereda, meskipun potensi gejolak tidak hilang sepenuhnya dalam sisa tahun.
Namun, kata Agus, masih ada beberapa hambatan yang dilihat investor dan lembaga pemeringkat.
Hingga saat ini, lanjutnya, baru lembaga pemeringkat Fitch dan Moody's yang menjaga rangking Indonesia sebagai negara layak investasi (investment grade).
Lembaga pemeringkat lain, Standard and Poor's (S&P) masih menempatkan rangking Indonesia di bawah level layak investasi dengan peringkat BB+. Pada Mei 2015, S & P sebenarnya telah mendongkrak prospek peringkat Indonesia dari "Stabil" menjadi "Positif" sehingga perlu selangkah lagi untuk mendapat peringkat layak investasi.
Menurut Agus, masalah prospek penerimaan negara itu yang juga menjadi salah satu perhatian S&P. Lembaga pemeringkat tersebut ingin menilai dari rencana kebijakan fiskal pemerintah sejauh ini, setelah penerimaan negara hingga awal Maret 2016 tidak sesuai harapan.
Sebagai informasi, pemerintah berencana menerapkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) guna meningkatkan penerimaan negara. Namun, rencana kebijakan tersebut belum bisa dieksekusi mengingat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Padahal pemerintah sudah merencanakan pengampunan pajak sejak 2015.
Masalah lainnya adalah perihal institusional seperti kepastian hukum. Agus menyambut baik sudah disetujuinya Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Selain itu, menurut Agus, pemerintah juga perlu memberi penjelasan mengenai kepastian jangka waktu penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak dan transparansi perhitungan harganya.
"Kita harus memastikan dua isu yakni aspek institusisonal dan kedua aspek fiskal," kata dia.
(ags)