Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) masih menimbang rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok mengingat perubahan tersebut sudah dilakukan awal tahun ini. Normalisasi tarif pajak hingga 10 persen berpeluang terjadi usai tahun 2017.
"Kenaikan baru terjadi awal tahun ini dan sudah berlaku, kami sih belum ada rencana perubahan tarif atau prosedur, tetapi rencana ke depan kita ingin menormalkan tarif," jelas Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Irawan di kantor pusat DJP, Jakarta, Senin (28/3).
Irawan menyebutkan saat ini tarif PPN yang berlaku untuk tembakau dan rokok yakni 8,7 persen. PPN tersebut dikenakan di tingkat pabrik rokok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, tarif PPN yang berlaku saat ini lebih rendah dibanding negara ASEAN lainnya, sehingga masih ada peluang untuk menaikkan menjadi 10 persen atau sesuai dengan tarif murni PPN yang berlaku.
Bagi DJP, PPN tembakau masih potensial mengingat harga tembakau Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
"Ya nanti kita evaluasi yang 8,7 persen kalau semuanya berjalan baik nanti kita ubah," jelas Irawan.
Namun ia memastikan normalisasi tarif tersebut belum berlaku tahun ini hingga tahun 2017, mengingat rumitnya proses peralihan akibat faktur konvensional ke e-faktur yang dilakukan oleh distributor rokok.
"Kalau normal mereka harus urus e-faktur, selama ini mereka (distributor) tidak masuk sistem, makanya sekarang kami pungutnya di tingkat pabrik," katanya.
Saat ini besaran PPN yang dikenakan dihitung dengan menerapkan tarif efektif sebesar 8,7 persen dikalikan dengan harga jual eceran (HJE). HJE adalah harga penyerahan kepada konsumen akhir yang di dalamnya sudah termasuk cukai dan PPN.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau, yang terbit pada 21 September 2015 dan efektif berlaku per 1 Januari 2016.
(gir)