Jakarta, CNN Indonesia -- Agenda revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) bakal menyedot perhatian pejabat dan karyawan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Pasalnya, salah satu Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bakal mengusung usulan pembubaran satuan yang dibentuk untuk menggantikan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) tersebut.
Kurtubi, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Nasional Demokrat menilai tata kelola migas nasional harus dilaksanakan oleh perusahaan minyak milik negara (National Oil Company/NOC).
“Bukan oleh lembaga pemerintah seperti SKK Migas. SKK Migas harus dibubarkan dan digabung dengan Pertamina,” kata Kurtubi, dikutip Selasa (12/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bekas pengamat energi tersebut mengatakan, dengan dihapuskannya SKK Migas maka pemerintah diminta untuk tidak berbisnis dan menyerahkan seluruh aset berupa cadangan migas untuk dikelola, dibukukan, dan dapat dimonetisasi oleh NOC dalam hal ini PT Pertamina (Persero).
Menurutnya, negara tidak akan dirugikan dengan pendelegasian wewenang tersebut mengingat pemerintah merupakan pemegang saham tunggal Pertamina.
“Pemerintah tetap berada di atas Pertamina yang akan ditugaskan untuk memaksimalkan penerimaan negara dari sektor migas. Selain itu, Pertamina juga ditugaskan untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional,” tegasnya.
Sementara Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengingatkan bahwa penguasaan negara atas kekayaan migas perlu ditata ulang dalam pembahasan RUU Migas. Pasalnya, pengaturan dalam UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 memang sangat liberal.
“Tak heran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/2012, terdapat 14 pasal UU Migas yang inkonstitusional. Dominasi pengelolaan hulu migas oleh BUMN cukup rendah, sekitar 20 persen. Sementara NOC Brasil bisa menguasai 81 persen, Aljazair 78 persen, Norwegia 58 persen, dan Malaysia 47 persen,” jelas Marwan.
Hal tersebut bisa terjadi setelah diberlakukannya UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang menghapus hak eksklusif Pertamina dalam mengelola migas sesuai aturan sebelumnya UU Nomor 44 Tahun 1960 dan UU Nomor 8 Tahun 1971.
“Sebagai gantinya, pengelolaan migas banyak beralih kepada kontraktor asing yang membuat kontrak dengan BP Migas dan SKK Migas. Padahal, keduanya hanya badan hukum milik negara (BHMN), bukanlah badan usaha yang mampu mengelola dan memonetisasi aset, sehingga kekayaan migas tidak termanfaatkan dan termonetisasi secara optimal,” kata Marwan.
Pangkas Birokrasi dan Regulasi
Tidak hanya menyinggung pembubaran SKK Migas, Kurtubi juga mempermasalahkan keberadaan Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) yang fungsinya seharusnya bisa dijalankan oleh Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Sistem harus disederhanakan, karena selama ini keberadaan BPH Migas justru membuat mata rantai menjadi lebih panjang. Keberadaaan BPH Migas saat ini, justru menjadi beban bagi perusahaan minyak karena harus membayar iuran,” jelasnya.
Rantai birokrasi dan regulasi yang lebih pendek menurut Kurtubi adalah obat mujarab untuk menggairahkan kembali investasi di sektor hulu dan hilir migas.
(gen)