Memahami Jurus Baru Bank Indonesia Perkuat Operasi Moneter

Elisa Valenta Sari, Diemas Kresna Duta, Christine Novita Nababan | CNN Indonesia
Kamis, 14 Apr 2016 18:35 WIB
Bank Indonesia (BI) bakal mengumumkan kebijakan baru terkait penguatan operasi moneter, Jumat (15/4).
Bank Indonesia (BI) bakal mengumumkan kebijakan baru terkait penguatan operasi moneter, Jumat (15/4). (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari).
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) bakal mengumumkan kebijakan baru terkait penguatan operasi moneter, Jumat (15/4). Penguatan operasi moneter ini disebut-sebut akan mengubah acuan suku bunga BI rate ke instrumen lainnya yang lebih mencerminkan kondisi pasar. Sebelum membahas instrumen baru yang akan digunakan bank sentral, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu pengertian BI rate.

BI rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank sentral. BI rate ini diumumkan oleh Dewan Gubernur BI setiap Rapat Dewan Gubernur secara bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter melalui pengelolaan likuiditas di pasar uang. Tujuannya untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.

Berdasarkan informasi dalam laman resmi BI, sasaran operasional kebijakan moneter tersebut dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) atau overnight (O/N). Pergerakan suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito dan pada gilirannya juga suku bunga kredit perbankan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sederhananya, BI rate merupakan indikasi level suku bunga jangka pendek yang diinginkan BI dalam upaya mencapai target inflasi. Dalam operasi moneter, penggunaan BI rate adalah untuk mengarahkan agar suku bunga Sertifikat BI (SBI) yang dilelang di Operasi Pasar Terbuka (OPT) oleh BI berada di sekitar BI rate.

SBI itu sendiri merupakan surat berharga yang dikeluarkan oleh BI sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1 - 3 bulan) dengan sistem bunga. Penggunaan BI rate sebagai acuan suku bunga SBI ini dilakukan oleh BI sejak 2005 silam.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam perekonomian, BI akan menaikkan BI rate jika inflasi diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan. Sebaliknya, BI akan menurunkan BI rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang ditetapkan.

Respon kebijakan moneter ini dinyatakan dalam perubahan BI rate secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis poin (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi BI yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran inflasi, perubahan BI rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps. Namun, tetap dalam kelipatan 25 bps.

Sebagai sebuah mekanisme, bank sentral memiliki tujuan dalam melakukan penyesuaian terhadap BI rate. Salah satunya, yakni menjaga inflasi. Jika terjadi kondisi yang diperkirakan mengakibatkan lonjakan inflasi, kenaikan bahan bakar minyak (BBM) misalnya, BI akan menaikkan suku bunganya untuk memperketat jumlah uang beredar. Dengan begitu, gejolak inflasi bisa ditahan.

Operasi Moneter

Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, BI menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga. Sikap BI ini dicerminkan melalui BI rate. BI rate sendiri tercermin dari suku bunga pasar uang jangka pendek. Sejak Juni 2008, BI menggunakan suku bunga PUAB O/N sebagai sasaran operasional kebijakan moneter.

Agar pergerakan suku bunga PUAB O/N tidak terlalu melebar dari BI rate, bank sentral berupaya untuk menjaga dan memenuhi likuiditas perbankan secara seimbang, sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil melalui pelaksanaan operasi moneter.

Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian mengatakan penguatan operasi moneter sebelumnya pernah dibahas bank sentral. Memang, kenyataannya, BI rate dengan inflasi terpaut jauh. Tahun lalu, dia mencontohkan, ketika inflasi berada di level 3,5 persen, BI rate malah berada di posisi 6,75 persen.

"Seharusnya, BI rate tidak jauh dengan inflasi. Kok itu bedanya jauh sekali. Akhirnya, BI rate selalu tertekan oleh capital outflow dan kurs," ujarnya, Kamis (14/4).

Sejumlah bankir dan pengamat meramal, nantinya suku bunga acuan akan berkiblat pada bunga reverse repurchase tujuh hari (repo). Benchmark ini lebih mencerminkan kondisi pasar. Sehingga, jarak antara PUAB, bunga spesial deposito dan lending facility BI tidak terpaut jauh.

"Namun, repo hanya bicara sejauh perkiraan. Di banyak negara, seperti Indonesia, tujuh atau 10 tahun ke belakang, namanya overnight rate. Kalau overnight rate pasti agak rendah, tinggal mana yang dipilih repo atau overnight," terang Darmin.

Riset Deutsche Bank menyebutkan, BI rate sudah tidak kredibel lagi dalam mencerminkan kondisi pasar. Saat rupiah mengalami pergerakan, BI rate justru relatif stagnan. Overnight rate justru lebih relevan. Karena, lebih sesuai dengan kondisi pasar. Praktik ini bahkan sudah banyak digunakan dalam utang perusahaan.

"Kalau diterapkan, perubahan ini akan positif bagi bank dan memperluas pasar kredit secara keseluruhan," tutur Raymond Kosasih, Analis Riset Deutsche Bank dalam riset yang diterima CNNIndonesia.com.

Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Utama Bank Mandiri mengungkapkan, selama ini, disparitas suku bunga antara bunga spesial deposito, PUAB dan lending facility BI terpaut cukup lebar. Itu berarti, transmisi kebijakan moneter ke suku bunga perbankan belum efektif dan efisien.

Tengok saja, saat ini, dalam pasar uang, jarak antara lending facility BI dan PUAB terpaut 250 basis poin. Deposit facility rate BI dipatok sebesar 4,75 persen. Sementara, overnight lending facility di kisaran 7,25 persen.

"Yang penting, bunga deposito bisa turun. Karena, deposito berhubungan dengan likuiditas interbank kita dan lending facility BI dengan deposito makin sesuai arahnya ke suku bunga rendah," ujar Tiko.

Parwati Surjaudaja, Direktur Utama Bank OCBC NISP mengaku mendukung perubahan kebijakan operasi moneter yang akan ditempuh BI. Toh, sambung dia, tujuan perubahan ini agar bunga kredit di Indonesia lebih kompetitif.

"Dampak baiknya bukan cuma perusahaan nasional jadi lebih bisa bersaing dalam era Masyarakat Ekonomi Asean, tetapi juga akan baik bagi perbankan jangka menengah dan panjang untuk meningkatkan efisiensinya," pungkasnya. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER