Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesian Petroleum Association (IPA) menganggap temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pembebanan
cost recovery beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang tidak sesuai bukanlah audit final.
Direktur Eksekutif IPA, Marjolijn Wajong mengatakan, proses audit
cost recovery memang memerlukan waktu yang tidak sebentar karena ada beberapa poin pembebanan ongkos produksi yang diaudit oleh auditor eksternal perlu diklarifikasi oleh KKKS. Menurutnya, hal itu terkadang tidak sesuai dengan kerangka waktu (
time frame) masa audit BPK.
"Jadi, di dalam audit pertama pasti ada perbedaan bagian mana yang harus kena
cost recovery. Setelah penemuan pertama itu, nanti ada beberapa klarifikasi izin data-data maupun bisnis prosesnya. Di dalam proses ini agak panjang ceritanya," jelas Marjolijn di Jakarta, Jumat (15/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menambahkan, sebenarnya di dalam perjanjian bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC) juga sudah disetujui pembebanan apa saja yang berhak dimasukkan sebagai unsur
cost recovery. Bahkan menurutnya, Pemerintah selalu diikutsertakan dalam menentukan pengeluaran operasi yang dilakukan KKKS.
Ia mencontohkan sistem penyusunan anggaran, permohonan izin pengeluaran, hingga proses tender yang selalu diawasi Pemerintah. Karena sistemnya sangat ketat, ia yakin KKKS hampir tak punya celah untuk mencurangi
cost recovery.
"Di dalam setiap step pengeluaran, kami selalu komunikasi dengan Pemerintah di mana selalu ada
approval resmi dalam mengeluarkan biaya. Dalam proyek pasti ada dialog, sehingga kalau ada penggelembungan beban
cost recovery yang murni, itu akan sangat sulit dilakukan," tambahnya.
Maka dari itu, ia berharap kedepannya BPK jangan terlalu buru-buru menentukan opini di dalam audit cost recovery.
"Dan karena audit ini proses berjalan, maka jangan ambil kesimpulan terlalu dini," tambahnya.
Melengkapi ucapan Marjolijn, Direktur IPA, Sammy Hamzah mengatakan
cost recovery merupakan bagian dari sistem kontraktual antara Pemerintah dan KKKS, sehingga tak seharusnya langsung menempuh jalur pidana jika ada kekeliruan terkait audit.
Kendati demikian, ia memahami penilaian BPK itu melihat dari kacamata potensi kekurangan penerimaan negara. Maka dari itu, seharusnya ada kesepahaman bersama antara KKKS dan BPJ.
"Karena ini bagian kontrak pemerintah dan pengertian
cost revovery pemerintah, sehingga kalau ada perselisihan ada mekanismenya," jelasnya di lokasi yang sama.
Sebagai informasi, BPK melaporkan adanya pembebanan
cost recovery yang tidak seharusnya dibebankan KKKS kepada Pemerintah di 7 Wilayah Kerja (WK). Hal itu tercantum pada Ikhtisar Hasil Pelaporan Semester (IHPS) II yang dianggap menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang Rp 4 triliun.
Ketujuh WK yang dimaksud adalah Blok South Natuna Sea “B” yang dikelola oleh ConocoPhillips Indonesia Inc. Ltd, Blok Corridor yang digarap ConocoPhillips (Grissik) Ltd., Blok Rokan yang dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia., Blok Eks Pertamina yang dioperatori PT Pertamina EP.
Setelah itu, terdapat pula Blok South East Sumatra yang digarap CNOOC SES LTD, Blok Mahakam yang dikelola Total E &P Indonesie dan INPEX Corporation, dan Blok Natuna Sea A kelolaan Premier Oil Natuna Sea B.V.