Ambisi Repatriasi Tinggi, Daya Tampung Aset Minim

Agust Supriadi & Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Rabu, 20 Apr 2016 10:20 WIB
Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai daya tampung aset di dalam negeri belum memadai, maksimal hanya sekitar Rp800 triliun.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA). (CNN Indonesia/Agust Supriadi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai ambisi pemerintah menarik aset wajib pajak di luar negeri tidak diimbangi dengan daya tampung keuangan yang memadai.

Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo mengatakan potensi aset wajib pajak di luar negeri yang bisa direpatriasi atau dibawa pulang ke Indonesia sangat besar. Sayangnya, daya tampung aset di dalam negeri belum memadai, maksimal hanya sekitar Rp800 triliun.

"Jadi kalau lebih dari itu, pasar tidak mampu menyerap itu," tuturnya di gedung DPR, Selasa (19/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, ketidaksiapan Indonesia menampung gelombang aset yang masuk menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperdalam pasar keuangan.

"Repatriasi, saya mengkalkulasi Rp500 triliun saja itu sudah bagus," ucapnya.

Dengan potensi aset yang sangat besar, Yustinus menilai ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi ketiga otoritas tersebut dalam menciptakan variasi produk derivatif agar memberikan banyak pilihan instrumen investasi bagi publik.

"Karena selama ini kita hanya punya Surat Berharga Negara (SBN), lalu simpanan di bank, deposito dan lain sebagainya, dan saham di pasar modal. Selain itu kita belum ada," kata Yustinus.

Dia melihat bursa komoditas berjangka bisa menjadi alternatif instrumen investasi yang bisa dikembangkan. Masuknya aset-aset hasil repatriasi diharapkan bisa mengariahkan kembali bursa berjangka yang selama ini relatif jalan di tempat.

"Lalu, reksa dana dan juga investasi properti. Kemarin kan ada policy tentang DIRE (Dana Investasi Real Estate). Ini momentum saya kira," ujarnya.

Dia menyarankan agar dibuat beberapa tahapan penampuangan aset-aset repatriasi. Untuk tahun pertama, Yustinus menilai pemerintah masih harus mengontrol penempatan aset demi mengamankan APBN tanpa harus berutang. "Jadi ada cadangan untuk menutup defisit yang bisa digunakan. Jadi SBN dan ditaruh di perbankan, itu dulu," katanya.

Tahap berikutnya, lanjut Yustinus, baru membuka ruang penempatan aset dalam bentuk kepemilikan obligasi BUMN agar bisa langsung disalurkan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur atau properti. "Itu harus disiapkan dulu. Tapi untuk tahun kedua, ketiga, sudah bisa jalan. Saya kira," tambahnya.

Ken Dwijugiasteadi, Direktur Jenderal Pajak mengatakan pemerintah sudah mengantisipasi jika kebijakan tax amnesty berhasil menjaring dana repatriasi dalam jumlah besar. Beragam varian instrumen investasi menurutnya bisa jadi wadah penampung aset-aset yang dibawa pulang oleh wajib pajak.

"Loh kan banyak (instrumennya). Ada list tentang investasi apa, apa gitu kan. Banyak loh kita," ujar Ken.

Dia berharap wajib pajak yang menyembunyikan asetnya di luar negeri tak hanya memanfaatkan tax amnesty sekedar untuk pelaporan, tetapi juga digunakannya untuk mengalihkan investasi ke dalam negeri. Untuk itu, Ken memastikan akan ada insentif bagi wajib pajak yang menanamkan modalnya di Indonesia untuk jangka panjang.

"Pasti kalau bikin investasi baru ada tax holiday," katanya.

Ken memastikan DJP telah mengantongi data wajib pajak yang menyembunyikan asetnya di negara-negara suaka pajak (tax haven). Namun dia mengingatkan tidak semua investasi di negara tax haven melanggar hukum.

"Sah-sah saja orang menaruh uang di luar negeri. Tetapi kali ini marilah kita bersatu bahwa uang itu bisa kita gunakan pembangunan. Yang bisa membangun negara ini ya kita sendiri, bukan negara lain," tuturnya. (gir)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER