Jakarta, CNN Indonesia -- B. Bawono Kristiaji, peneliti pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) mengatakan kebijakan PPh badan akan mempengaruhi perilaku pengalihan laba di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Menurutnya, semakin besar tarif PPh dikenakan, maka semakin kecil laba yang dilaporkan perusahaan.
Temuan tersebut merupakan hasil penelitian tesisnya, yang menggunakan sampel lebih dari 8.000 anak perusahaan di 29 negara berkembang selama periode 2005-2013.
"Hasilnya, perbedaan tarif PPh badan merupakan insentif profit shifting dengan koefisien -1,2. Artinya tiap perbedaan 1 persen tarif PPh badan akan menyebabkan laba yang dilaporkan (perusahaan) lebih kecil 1,2 persen," ujar Bawono melalui pesan singkatnya, Minggu (24/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, tesis Bawono juga menyoroti soal ketentuan anti penghindaran pajak di banyak negara, yang ternyata hanya mampu mencegah pengalihan laba perusahaan maksimal sebesar 72 persen. Artinya, kerentanan terjadinya peralihan laba (profit shifting) di negara berkembang masih cukup besar.
"Manipulasi transfer price adalah skema profit shifting yang paling dominan," katanya.
Menurutnya, eEfektivitas ketentuan anti penghindaran pajak di negara berkembang tidak maksimal karena lemahnya kapasitas otoritas pajak. Dengan demikian, adanya aturan dinilai tidak dapat menjamin berkurangnya profit shifting karena peran otoritas sangat menentukan, terutama menyangkut keahlian para pemeriksa pajak.
"Negara berkembang membutuhkan aturan penghindaran pajak yang simpel, mudah diaplikasikan, namun juga selaras dengan konsensus global," tuturnya.
Dia menilai OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Project relevan untuk dipertimbangkan oleh negara-negara berkembang karena semakin menitikberatkan pada substansi ekonomi dan transparansi.
Bawono menambahklan, jika upaya mengurangi insentif dipertimbangkan, maka diperlukan suatu kerangka harmonisasi tarif PPh badan secara global, "atau paling tidak melawan praktik kompetisi pajak yang tidak sehat."
Namun, lanjutnta, hal ini akan terbentur dengan adanya kedaulatan pajak (tax sovereignty) oleh masing-masing negara sehingga akan sulit dilakukan.
Untuk itu, "melawan profit shifting harus dengan cara multilateral. Oleh karenanya, negara-negara berkembang harus terlibar aktif dalam perumusan lanskap pajak internasional ke depan," tuturnya.
Tesis Bawono, yang berjudul
Incentives and Disincentives of Profit Shifting in Developing Countries ini baru saja terpilih sebagai tesis pajak terbaik se-Eropa dan menerima penghargaan dari Confédération Fiscale Européenne (CFE) Award Albert J. Radler Medal 2015.
(ags)