Jakarta, CNN Indonesia -- Malang betul nasib Sumartono (42 tahun). Ia kehilangan pekerjaannya sebagai supir kantoran. Perusahaan tempatnya mengabdi selama tujuh tahun tersebut melakukan efisiensi dan pemutusan hubungan kerja. Walhasil, nyaris dua bulan terakhir ini Tono menyandang status barunya sebagai pengangguran.
Namun demikian, ia mengklaim, tidak seperti pengangguran pada umumnya yang pasrah menanti panggilan kerja sembari menikmati waktu luang. Ia malah mengaku, kewalahan dengan kesibukan barunya, yaitu mencari pekerjaan baru dan mengajukan klaim program Jaminan Hari Tua (JHT) di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Tono kewalahan. Pasalnya, ia harus bolak-balik mengurus kelengkapan dokumen kepesertaannya untuk klaim JHT. Pertama kali ia datang ke kantor pusat pelayanan BPJS Ketenagakerjaan di Slipi, Jakarta Barat. Saat itu, ia mendapatkan penolakan dari petugas karena tidak membawa serta surat yang menjadi salah satu syarat pencairan JHT, yaitu Surat Keterangan Karyawan Berhenti Bekerja yang ditujukan ke Suku Dinas Tenaga Kerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa hari setelahnya, ia kembali datang ke kantor pelayanan eks PT Jamsostek dengan surat yang diminta. Namun, penolakan kembali diterimanya setelah ia menyambangi loket informasi. Ia diberitahu nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dilampirkan ketika terdaftar berbeda dengan nomor elektronik KTP yang saat ini dikantonginya. Bahkan nama ibu kandungnya pun tidak tertera untuk verifikasi data.
"Akhirnya, saya dikasih formulir untuk mengisi nomor EKTP dan nama ibu kandung. Lalu dibubuhi tandatangan dan stempel perusahaan dan lapor ke bagian ubah data. Setelah itu baru diizinkan untuk mengajukan dokumen klaim JHT. Jadi, saya bolak-balik ke kantor lama saya dan BPJS. Padahal, saya juga sedang banyak wawancara kerja," ujarnya.
Tak sampai di situ. Tono kembali menelan pil pahit di kunjungan ketiganya ke kantor cabang BPJS. Ia kehabisan nomor antrian. Padahal, pagi itu waktu masih menunjukkan pukul 07.45 WIB. Nomor antrian ludes setelah pukul 06 WIB. Artinya, seluruh peserta yang ingin berurusan dengan badan kesejahteraan untuk para pekerja itu harus rela bangun lebih pagi dan mengantri saat matahari belum terbit. Soalnya, pelayanan dibatasi hingga 100 nomor per harinya.
Hal itu sendiri diakui oleh BPJS Ketenagakerjaan. Lewat akun Twitter perusahaan
@BPJSTKinfo pada 8 April 2016, yang ditujukan ke
@nambelban, BPJS Ketenagakerjaan berkicau:
jam operasional cabang BPJSTK dimulai pukul 08.00, (antrian)
buka pukul 05.00 pagi. Silahkan datang ke cabang sesuai jam kerja.
Namun pada 25 April 2016,
@BPJSTKinfo meralat informasi tersebut dengan menyatakan telah terjadi kesalahan pada pengetikan pada informasi yang diberikan sebelumnya dan merevisinya menjadi:
jam operasional cabang BPJSTK dimulai pukul 08.00, (antrian)
bukan pukul 05.00 pagi. Silahkan datang ke cabang sesuai jam kerja."Saya ngalah juga. Saya datang sekitar pukul 04.30 WIB, antrian sudah panjang. Saya ambil nomor antrian, untungnya masih dapat. Setelah itu, saya tinggal sebentar numpang istirahat ke rumah saudara terdekat. Saya baru kembali ke kantor pelayanan pukul 09.00 WIB. Karena, nomor antrian saya masih urutan ke-52," tutur Tono.
Setali tiga uang. Amelia Rahayu (29 tahun), mantan karyawan bank BUMN ini juga mengalami hal serupa. Ia terpaksa mengantri dua kali di waktu yang berbeda, setelah pada antrian pertama BPJS Ketenagakerjaan Kota Tangerang tiba-tiba mengklaim mengalami sistem
offline. "Kedua kali, saya antri dari subuh, antrian panjang dan dijemur matahari pagi berjam-jam. Sangat tidak manusiawi," terang dia.
Proses pencairan JHT Amelia juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setelah dokumen diperiksa, ia diminta untuk menambah surat persetujuan pencairan JHT dari perusahaan terakhir bekerja. Padahal, surat ini tidak ada dalam persyaratan. Bahkan, suami Amelia yang kemudian menerima kuasa untuk melanjutkan proses pencairan JHT sempat bersitegang dengan kepala kantor pelayanan BPJS Kota Tangerang.
"Beruntung, suami saya punya akses untuk menghubungi manajemen BPJS Ketenagakerjaan dan mengadukan proses pencairan JHT yang berbelit ini. Akhirnya, JHT saya cair juga, meski harus menunggu lebih dari dua bulan. Bayangkan kalau masyarakat biasa tidak terlayani, tidak tahu harus mengadu ke siapa, kan kasihan," katanya.
Pengalaman pahit juga dialami Lia Putri (32 tahun). Petugas kantor BPJS Ketenagakerjaan cabang Bekasi Kota menolak Putri karena pengajuan hanya boleh dilakukan secara
online atau melalui
e-claim (klaim elektronik). Nahasnya, ia selalu gagal mencoba mengisi data diri di
e-claim. Menurut sistem komputer, nomor KTP yang dituliskan Putri disebut tidak berlaku (
not valid).
"Padahal, nomor KTP lama dan EKTP saya sama. Saya tidak tahu salahnya dimana. Saya diminta untuk mengisi formulir secara fisik, menuliskan nomor EKTP, kemudian ditandatangani dan dicap oleh perusahaan terakhir saya bekerja. Setelah seluruh data selesai, baru saya bisa ajukan klaim elektronik. Repot," imbuh Putri.
Sebetulnya, cerita tiga peserta BPJS Ketenagakerjaan ini menggambarkan betapa kewalahannya badan pengelola jaminan kesejahteraan pekerja tersebut dalam melayani klaim masyarakat yang membludak. Bagaimana tidak? sejak pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT, peserta berbondong-bondong menarik dana mereka.
PP anyar yang menggantikan PP Nomor 46/2015 itu berbunyi, pekerja yang berhenti bekerja atau terkena PHK dapat mencairkan JHT mereka sesuai besaran saldo, termasuk bagi pekerja yang meninggal dunia, dan pekerja yang sudah mencapai usia pensiun 56 tahun, serta mereka yang mengalami cacat tetap. Bahkan, mereka yang masih aktif bekerja pun dapat menarik dana JHT mereka hingga 30 persen dari saldo mengendap. Dengan catatan masa kepesertaan minimal 10 tahun.
Evi Afiatin, Direktur Pelayanan dan Kepatuhan BPJS Ketenagakerjaan menjelaskan, perubahan regulasi mengakibatkan lonjakan klaim hingga 400 persen pada kantor cabang tertentu. Jangan heran apabila antrian pelayanan mengular dan membuat beberapa kantor cabang menerapkan sistem nomor antrian untuk memastikan seluruh peserta yang hadir dapat dilayani.
Meski demikian, ia mengklaim, manajemen telah menambah jam operasional pelayanan di 121 kantor cabang dari sebelumnya 08 - 15.30 WIB menjadi 08 - 17 WIB. Tidak cuma itu, manajemen juga membuka pelayanan pencairan JHTdi203 Kantor Cabang Perintis (KCP), serta menambah kanal pelayanan melalui
Service Point Office (SPO) bekerja sama dengan perbankan untuk klaim peserta JHT.
"Kami juga mendorong peserta untuk menggunakan layanan e-claim untuk mempercepat proses klaim di kantor cabang dan membuka pelayanan terbatas pada hari Sabtu dan Minggu di kantor cabang tertentu," terang Evi.
Berdasarkan standar pelayanan klaim, lanjut Evi, waktu yang dibutuhkan hanya 30 menit. Proses pengambilan nomor antrian dan menunggu antrian selama 20 menit. Lalu, dilanjutkan dengan pelayanan petugas klaim selama 10 menit. Dengan catatan, asumsi kondisi normal, yaitu 72 peserta per hari dengan kedatangan berangsur-angsur dan tidak secara bersamaan.
Selain program JHT, sebetulnya, BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan tiga program lainnya. Yaitu, program Kecelakaan Kerja, Kematian, dan yang terbaru adalah program Pensiun. Keempat program ini merupakan program wajib pemerintah demi kesejahteraan para tenaga kerja. Masing-masing manfaat berbeda.
Manfaat JHT, yakni uang tunai yang besarnya merupakan nilai akumulasi iuran ditambah dengan hasil pengembangannya dan dibayarkan secara sekaligus. Program Kecelakaan Kerja sendiri memberikan perlindungan atas risiko-risiko kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja.
Program Kematian berbeda lagi. Program ini memberikan manfaat tunai kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja. Sedangkan, program Pensiun memberi manfaat uang tunai bulanan kepada peserta yang memenuhi masa iuran minimal 15 tahun.
Namun demikian, hingga saat ini, menurut Evi, klaim terbanyak masih berasal dari program JHT. Yakni, sebanyak 639.297 kasus dengan total klaim sebesar Rp 4,8 triliun hingga kuartal pertama tahun ini. Adapun, total klaim yang dibayar BPJS Ketenagakerjaan tembus Rp 5,2 triliun sampai kuartal pertama ini.
"Total klaim kami meningkat 53 persen dari sisi nilai pencairan dan 140 persen dari sisi kasus yang dilayani. Klaim terbanyak adalah klaim JHT oleh peserta yang mengundurkan diri dan PHK dengan rata-rata usia 25-30 tahun. Pencairan JHT oleh peserta yang memasuki usia pensiun sendiri hanya dua persen dari total klaim JHT," imbuh Evi.
Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan menilai, pada pelaksanaannya, JHT tidak sesuai dengan filosofi awalnya, yakni untuk perencanaan keuangan ketika memasuki masa pensiun.
"JHT ini ada persoalan. Kami khawatir jadi tidak tercapai tujuan kesejahteraan para pekerjanya jika seluruh pekerja dapat menarik dana mereka secara lump sum (dibayarkan sekaligus). Kami imbau mereka yang masih bekerja atau yang dalam usia produktif untuk tidak mencairkan," pungkasnya.
(bir/ags)