Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menemukan potensi terjadinya kerugian negara apabila pemerintah meneruskan rencana pemberlakuan pengampunan pajak.
Kerugian tersebut dipicu oleh rendahnya tarif tebusan bagi wajib pajak (WP) yang ingin merepatriasi aset dibandingkan dengan imbal hasil (
yield) surat utang negara (SUN) yang disiapkan untuk menyerap aset-aset tersebut.
Yustinus mengutip draf Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (RUU
Tax Amnesty) yang telah diajukan pemerintah beberapa waktu lalu. Besaran tarif tebusan bagi pemohon pengampunan pajak yang melakukan repatriasi asetnya adalah 1 persen untuk periode pelaporan Surat Permohonan Pengampunan Pajak (SPPP) pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga sejak UU berlaku. Kemudian ditetapkan 2 persen untuk periode pelaporan SPPP pada bulan keempat sampai dengan akhir bulan keenam sejak UU berlaku, dan 3 persen untuk periode SPPP pada bulan ketujuh sejak UU berlaku berlaku sampai dengan Desember 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesuai naskah RUU, Yustinus menyebut aset tersebut harus dialihkan investasinya pada instrumen investasi tertentu yang ditentukan pemerintah dan diendapkan dalam jangka waktu paling singkat tiga tahun. Pada tahun pertama, pemohon pengampunan pajak harus mengalihkan aset repatriasinya ke Surat Berharga Negara Republik Indonesia, obligasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau investasi keuangan pada bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Apabila pada tahun kedua dan ketiga pemohon pengampunan pajak ingin mengalihkan asetnya maka bentuk investasi yang dapat dipilih antara lain investasi di sektor riil yang ditentukan pemerintah, obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan, investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha, dan investasi di sektor properti.
“Kalau tarif tebusan aset repatriasinya 1-2 persen, sementara imbal hasi SUN di atas itu artinya malah negara yang tekor. Bukan mendapatkan pendapatan penerimaan tapi negara justru malah membayar bunga,” tutur Yustinus di Jakarta, Senin (9/5).
Belajar dari penerapan
tax amnesty di negara lain, Yustinus mengatakan tarif uang tebusan yang seharusnya disetor ke negara apabila WP ingin mendapat pengampunan pajak adalah 5-10 persen.
“Waktu pemerintah mengajukan tarif 1-2 persen itu kami pertanyakan justifikasinya dari mana?,” ujarnya.
(gen)