Jakarta, CNN Indonesia -- Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) menilai sudah saatnya industri manufaktur mencari pasar ekspor baru setelah pertumbuhan industri di kuartal I tahun ini tidak mampu menembus angka lima persen lagi.
Anggota KEIN Hendri Saparini menilai saat ini negara-negara tujuan ekspor manufaktur Indonesia tengah mengalami pelemahan ekonomi sehingga permintaannya berkurang. Maka dari itu tak heran jika banyak sekali sektor industri yang kapasitas produksi terpasangnya jauh lebih kecil dibandingkan kapasitas maksimalnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tiga besar negara tujuan ekspor non-migas (termasuk manufaktur) terbesar pada kuartal I 2016 diduduki oleh Amerika Serikat dengan nilai transaksi US$3,62 miliar, Jepang US$3,22 miliar, dan China US$ 2,84 juta. Menurutnya, sudah saatnya Indonesia mencari pasar-pasar baru yang tidak konvensional namun potensial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak sekali industri yang kapasitas terpakainya tidak maksimal karena market-nya turun. Yang harus dilakukan ya memang menciptakan pasar. Memang kalau mau bangun industri itu cuma dua caranya, yaitu ciptakan pasarnya dan dukungan dengan biaya produksi yang lebih efisien," ujar Hendri di Jakarta, Senin (9/5).
Namun menurutnya, bukan berarti pelaku industri langsung mengubah haluan pemasarannya begitu sudah mendapatkan pasar baru yang menjanjikan. Ia mengatakan penjualan di pasar yang sudah ada perlu dipertahankan karena terbukti bisa berkontribusi baik kepada neraca perdagangan Indonesia.
Selain itu, pemenuhan hasil industri ke pasar domestik juga dianggap penting agar Indonesia tidak dibanjiri barang impor. Namun agar permintaan dalam negeri berkembang, Pemerintah juga perlu memastikan daya beli masyarakat ikut menguat.
"Dan untuk meningkatkan daya beli, sebenarnya bukan dengan meningkatkan upah minimum terus menerus dengan alasan peningkatan kesejahteraan. Semakin harga barang-barang murah, maka semakin meningkat pula daya beli masyarakat. Disinilah kita perlu peran Pemerintah untuk menyediakan bahan baku industri yang lebih efisien," jelasnya.
Ia menambahkan, harusnya Pemerintah juga punya beberapa sektor industri prioritas sehingga kebijakan yang diambil bisa tepat sasaran. Ia mencontohkan industri makanan dan minuman yang seharusnya difasilitasi harga bahan baku yang lebih murah karena nilai
output-nya yang tinggi dan berkontribusi tinggi terhadap inflasi karena permintaannya besar.
"Kalau ada hal-hal yang mengganggu industri makanan dan minuman, misalnya, itu kan juga akan mengganggu pertumbuhan industri dan bisa-bisa inflasi semakin besar. Makanya, lebih baik kebijakan tiap sektor industri itu jangan sama rata, harus fokus tiap sektornya kondisinya seperti apa dan dampaknya nanti akan seperti bagaimana," jelasnya.
Melengkapi ucapan Hendri, Ketua KEIN Soetrisno Bachir mengatakan industri manufaktur dalam negeri memiliki kemampuan untuk menembus pasar ekspor dari segi kapasitas produksi dan kualitas sehingga seharusnya industri domestik tak perlu risau membuka pasar baru di luar negeri.
"Industri itu harus optimistis punya pasar sendiri. Apalagi Indonesia sudah punya kapasitas untuk ekspor, dan kini memang diperlukan pasar lainnya," tambah Soetrisno di lokasi yang sama.
Sebagai informasi, BPS sebelumnya melaporkan penurunan nilai
output industri manufaktur sedang dan besar dari angka 5,06 persen di kuartal I tahun lalu menjadi 4,07 persen di periode yang sama tahun ini secara tahunan (
year-on-year).
Beberapa sektor yang mengalami penurunan antara lain industri pengolahan tembakau yang menurun sebesar 9,99 persen, kertas dan barang kertas sebesar 5,73 persen serta karet, barang dari karet, dan plastik sebesar 7,66 persen.