Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BIPI) Kementerian Perindustrian mengakui 12 paket kebijakan ekonomi yang telah dirilis pemerintah belum terlalu signifikan pengaruhnya bagi pelaku usaha. Bahkan sebagian belum jalan karena terganjal ego sektoral, antara lain menyangkut penurunan harga gas bagi industri dan tingkat suku bunga kredit.
Kepala BIPI Haris Munandar menuturkan banyak kebijakan yang telah dirilis pemerintah sejak September 2015 belum bisa dieksekusi karena masih butuh waktu untuk diproses di sejumlah kementerian dan lembaga terkait.
Contohnya, kata Haris, menyangkut penurunan harga gas industri yang dijanjikan pada September 2015 melalui paket kebijakan ekonomi jilid III. Namun, sampai saat ini harga gas industri yang dimaksud belum juga turun seperti yang dijanjikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penurunan harga gas ini perlu didorong. Kemenperin sudah ngomong ke Kementerian ESDM, tapi alasan mereka soal perhitungan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang belum selesai," ujar Haris kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/5).
Menurutnya, kemenperin sudah mengusulkan tiga opsi harga gas industri berdasarkan wilayah tertentu. Opsi pertama untuk wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur, dengan usulan harga gas US$7 per Juta Standar Kaki Kubik per Hari (MMBTU).
Opsi kedua mencakup wilayah kerja industri di Sumatera Utara. Haris mengatakan harga gas baru untuk wilayah ini diusulkan berkisar US$8-9 per MMBTU, turun dari saat ini sekitar US$13-14 per MMBTU.
"Ketiga khusus di kawasan industri pupuk di Teluk Bintuni, Papua Barat. Kami minta harga gasnya US$5 per MMBTU. Saat ini proyek itu mentok karena harga gas," katanya.
Selain harga gas, Haris Munadar juga mengkritisi kebijakan perbankan yang sampai saat ini tak kunjung memangkas tingkat suku bunga kreditnya. Hal ini berbanding terbalik dengan komitmen Pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertekad mengarahkan bunga kredit menjadi digit tunggal.
Dia mengakui tidak mudah bagi pemerintah untuk melakukan deregulasi kebijakan, mengingat regulasi yang dianggap menghambat dan perlu disederhanakan jumlahnya mencapai kisaran 40 ribu peraturan.
"Jadi ini memang butuh proses, kami tidak tahu sudah sampai mana," katanya.
(ags/gen)