Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesian Natural Gas Trader (INGTA) menolak pengaturan margin gas di dalam beleid penetapan harga gas bumi. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) turunan dari kebijakan penurunan harga gas bagi industri yang diatur Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Subran Jamil Amperawan, Ketua INGTA mengatakan, pembatasan margin ini menjadi ancaman karena akan mengurangi kesempatan aktivitas usaha niaga gas untuk memperoleh keuntungan. Padahal, tanpa aturan ini pun, profitablitas bisnis niaga gas sudah cukup terganggu.
Menurut dia, saat ini, penyerapan gas bagi industri minim akibat rendahnya permintaan barang-barang output produksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami jual dengan harga segini saja tidak laku kok. Memang, ini akibat dari industrinya saja yang lemah karena permintaan output-nya lemah. padahal, kan kalau industrinya kuat mereka bisa saja beli gas tanpa ada pengaturan margin," tutur dia disela-sela acara Indonesian Petroleum Association (IPA) Convex 2016, Jumat (26/5).
Sebetulnya, sambung Subran, asosiasi terkait senang menyambut Perpres penurunan harga gas bagi industri. Karena, itu berarti berpotensi meningkatkan penyerapan dari pengusahaan niaga gas. Pasalnya, penyerapan gas oleh industri menurun sebesar 20 hingga 30 persen sepanjang tahun lalu.
"Maksudnya dengan Perpres itu kami harap, industri bisa menyerap lebih banyak gas. Industri dapat harga yang murah, idle capacity kami juga bisa berkurang. Nah, kami sih ingin margin kami bisa bertambah dari adanya tambahan penyerapannya itu," katanya.
Ia menegaskan, Perpres terkait memiliki maksud baik yang ditujukan untuk kebaikan semua pelaku usaha hulu gas, perantara, hingga pengguna akhir. Namun, ia menilai, akan menjadi sia-sia jika kebijakan pembatasan margin itu dilakukan.
Apalagi, ia melanjutkan, kenaikan penyerapan gas oleh industri ini tidak bisa dirasakan dalam waktu dekat lantaran masih banyaknya peraturan turunan yang diperlukan dan penyesuaian yang perlu dilakukan oleh industri pengguna.
"Sebetulnya, margin kami tidak terpengaruh ketika Perpres gas itu berlaku. Tetapi, kalau jadi ada pembatasan margin, ya kami tak terima dong. Ini kan bukan masalah di kami, kami kan hanya menyalurkan bahan bakar. Masalah utamanya kan di permintaan industrinya," terang Subran.
Agus Cahyono Adi, Direktur Pembinaan Program Migas Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM sebelumnya memastikan, harga maksimal gas sebesar US$ 6 per MMBTU tidak hanya berlaku di hulu. Tetapi juga, berlaku ke pelaku industri.
Mengacu pada pasal 3 beleid Penetapan Harga Gas Bumi, aktivitas niaga gas harus mengikuti ketentuan terkait. Bahkan, pemerintah mengancam akan membekukan izin usaha niaga gas apabila ada perusahaan niaga gas yang tidak mematuhi kebijakan tersebut.
"Salahsatu pasalnya menyebut, pengurangan ini wajib di-pass through (sampaikan) ke pelanggan. Kalau masih ada badan niaga gas yang tidak mengikuti, izinnya bisa kami bekukan. Kalau urusan perdata ya tinggal nanti ada hitung-hitungannya," pungkasnya, akhir pekan lalu.
(bir)