Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli kembali mengkritik rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT PLN (Persero), yang berkukuh meneruskan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) berkapasitas 35 ribu Megawatt (MW) sampai 2025 mendatang. Rizal menyebut jika pemerintah terus mengejar target tersebut, besar kemungkinan terjadi kelebihan pasok dari kebutuhan masyarakat.
Jika pasokan berlebihan dari konsumsi listrik sehari-hari, Rizal menyebut PLN nantinya harus menanggung rugi akibat tetap membayar pembelian listrik ke perusahaan listrik swasta (
Independent Power Producer/IPP) sesuai dengan kontrak jual beli listrik. Oleh karena itu, ia tetap meminta proyek 35 ribu MW ini dikaji lagi oleh Pemerintah.
"Kalau kami bisa lakukan 35 ribu MW dalam lima tahun, maka akan ada kelebihan pasokan sehingga PLN harus bayar mau itu digunakan atau tidak. Sesuai kesepakatan PPA, kalau ada pembangkit, mau ada atau tidak ada (pelanggan) harus bayar 70 persen dari daya listrik," jelas Rizal, Selasa (31/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia tidak merinci berapa besar angka kelebihan suplai listrik yang dimaksud, namun Rizal menghitung setidaknya PLN harus membayar US$10,7 miliar per tahun untuk disetor ke IPP. Rizal menjelaskan, ini akan membebani keuangan PLN karena korporasi masih ada kewajiban pembayaran obligasi dan pembiayaan.
"Ini akan membuat PLN kesulitan keuangan, mereka harus bayar sesuatu yang sama sekali tidak bisa digunakan. Kami kan tidak ingin PLN bangkrut," katanya.
Ia menjelaskan, seharusnya angka ideal bagi penambahan kapasitas listrik adalah sebesar 17 ribu MW hingga 18 ribu MW, atau setengah dari target yang dipasang Pemerintah.
"Kalau itu bisa dilakukan adalah prestasi luar biasa, karena 10 tahun pemerintahan yang lalu hanya bisa sediakan 7.900 MW. Apalagi sekarang sudah ada perbaikan proses PPA dari awalnya tiga hingga empat tahun, kini hanya delapan hingga sembilan bulan saja," imbuh Rizal.
Pertumbuhan EkonomiDitemui di lokasi yang sama, Direktur Perencanaan Korporat PLN Nike Widyawati mengatakan, sebetulnya kekhawatiran kelebihan suplai juga sempat timbul di dalam internal PLN. Pasalnya, ada ketidakcocokan asumsi pertumbuhan penggunaan listrik yang dipengaruhi pertumbuhan ekonomi, di mana itu disertakan di dalam draf Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelumnya.
Di dalam draf tersebut, perusahaan memasang asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen di tahun 2015 dan 6,4 persen di tahun ini. Namun kenyataannya, pertumbuhan ekonomi tahun lalu hanya sebesar 4,7 persen yang menyebabkan pertumbuhan konsumsi listrik hanya 2 persen.
"Dalam membangun kapasitas, harusnya memamg ke depan ada penguatan
demand. Khususnya penggunaan di sektor industri agar pertumbuhan konsumsi listriknya meningkat. Jika itu berhasil, maka kekhawatiran listrik tidak terserap tidak akan terjadi," jelas Nike.
Sebagai informasi, proyek 35 ribu MW ini diperkirakan menelan dana hingga US$72,94 miliar yang akan digunakan untuk membangun 291 pembangkit, 732 set transmisi, 1.375 unit gardu induk. Hingga kuartal I tahun ini, realisasi megaproyek rancangan Pemerintahan Joko Widodo baru 123 MW.
Menurut data Kementerian ESDM, kapasitas listrik terpasang Indonesia sebesar 53.035 MW per 2015 dengan konsumsi per kapita sebesar 865 kilowatt per hour (kWh).